Ini yang Bikin Guru JIS Bebas dari Kasus Pelecehan Seksual

Dua guru Jakarta International School JIS dibebaskan dari penjara
Sumber :
  • REUTERS/Beawiharta

VIVA.co.id - Dua guru Jakarta International School (JIS), Neil Bantleman dan Ferdinand Tjiong, telah bebas dari penjara beberapa pekan lalu. Mereka dinyatakan bebas oleh hakim Pengadilan Tinggi DKI setelah pengacara dua guru itu mengajukan banding.

Neil dan Ferdinand dianggap tidak terbukti melakukan dugaan pelecehan seksual terhadap beberapa anak didik mereka di sekolah elite tersebut.

Putusan pengadilan Negeri Jakarta Selatan dianggap sangat lemah dan sangat dipaksakan. Ini diungkapkan mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Ramelan.

"Bila putusannya membebaskan terdakwa, hal itu menunjukan kalau pembuktian (di pengadilan pertama) tidak jelas, tidak sesuai ketentuan dan lemah,” kata Ramelan dalam keterangan persnya  di Jakarta, Selasa, 25 Agustus 2015.

Ramelan menjelaskan, hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, dianggap tepat karena telah menganulir putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk kasus dua guru JIS karena pembuktiannya lemah dan cermat.

Salah satu kelemahan lain di kasus tersebut, kata Ramelan, pengajuan tuduhan tanpa disertai saksi fakta yang melihat langsung kejadian.

"Tidak ada saksi dan bukti yang memperkuat peristiwa sodomi seperti yang dituduhkan tersebut benar terjadi. “Padahal dalam hukum acara pidana, saksi yang melihat itu sangat penting,” kata Ramelan.

Pengamat hukum dari Universitas Brawijaya, Fachrizal Afandi, menilai, kesimpulan hakim di PN Jakarta Selatan yang memvonis terdakwa pidana kurungan 10 tahun, banyak yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana.

“Saya sudah pelajari berkas putusan PN Jakarta Selatan, ada beberapa poin yang tidak sesuai. Misalnya, Hakim tidak menggunakan hasil medis rumah sakit Singapura dengan alasan tidak ada perjanjian bilateral. Ini kan aneh kalau hakim berpendapat seperti itu. Padahal keadilan itu universal. Yang namanya bukti dari negara lain untuk mendukung persidangan, ya boleh. Tidak ada ketentuan hukum yang melarang hal itu," kata dia.

Fahrizal juga heran dengan alasan hakim tentang kejadian dugaan pelecehan seks terhadap MAK, DA dan AL hanya dari pengakuan anak tersebut. Padahal hakim harus merangkai bukti tambahan sehingga menjadi utuh.

Selain itu, saksi ahli yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dianggap tidak kredibel. Ada ahli yang masih menggunakan teori lama, ada ahli yang juga melakukan konseling dengan salah satu anak sehingga tidak
independen.

Kejanggalan lainnya, kata dia, mustinya Majelis Hakim di PN Jakarta Selatan memakai hasil rekam medis dari SOS Medika, RSCM, RSPI dan dari RS KK Women' and Children's Hospital Singapura, yang menyatakan kondisi lubang pelepas AL tetap normal dan tidak mengalami luka.

Pemeriksaan rumah sakit di singapura ini dilakukan secara lebih komprehensif dengan menggunakan metode anuskopi yang melibatkan dokter bedah, dokter anestesi dan dokter psikologi.

Dengan hasil medis tersebut, pengadilan di Singapura memenangkan gugatan pencemaran nama baik Neil Bantleman, Ferdinant Tjiong dan JIS terhadap DR, sebagai ibu AL. DR diwajibkan membayar ganti rugi 230 ribu dollar Singapura atau sekitar Rp2,3 miliar.

Seperti diketahui, 14 Agustus lalu, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta membebaskan Neil Bantleman dan Ferdinant Tjiong dari vonis 10 tahun yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.

Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menilai putusan pengadilan PN Jaksel tidak cermat dan tidak matang dalam pembuktian. (ren)