Jejak Bisnis Opium di Masa Kolonial

Pecandu di Batavia
Sumber :
  • KITLV

VIVA.co.id -Pada masa VOC, bisnis itu telah berkembang pesat. Ini sesuai dengan ambisi VOC meraih keuntungan sebesar-besarnya yang menjadikan narkoba sebagai salah satu mata dagangan penting untuk pundi-pundi VOC.

Pakar candu Henri Louis Charles Te Mechelen tahun 1882, seperti yang tercantum dalam buku Opium To Java karya James R.Rush, menyatakan, satu dari 20 orang Jawa mengisap candu. Baca:

Penulis RP Suyono dalam Seks dan Kekerasan pada Zaman Kolonial menyebutkan, kerak sisa sebuah pipa perokok candu yang dinamakan Jiting, diperlukan dalam pembuatan candu hisap demi rasa yang khas. Kerak sisa candu hisap itu memang masih bisa dicampur dengan hisap yang baru atau dicampur kala minum kopi. Tapi Jiting itu harus dijual lagi kepada regie candu.

Diuraikan sejarahwan Betawi Alwi Shahab, penikmat candu tersebar di berbagai kalangan dan meluas di Jawa khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada papan atas, candu dikonsumsi sebagai gaya hidup, disuguhkan sebagai tanda kehormatan bagi tetamu di rumah para bangsawan Jawa dan Tionghoa.

Tetapi kelompok masyarakat lain juga menjadi pecandu, meskipun kebanyakan mengonsumsi candu kualitas rendah. Mereka adalah kaum pengembara musisi, seniman teater rakyat, pedagang keliling dan tukang-tukang upahan di perkebunan yang memakai candu untuk menikmati sensasi hayal, merajut mimpi dan mengurangi pegal-pegal di badan.

Sejak awal kedatangan Belanda di Banten, orang-orang Tionghoa sudah dianggap berperan penting. Banyak saudagar Tionghoa berdomisili di sana. Tidak heran Sultan Banten amat menentang upaya Belanda untuk mengajak orang-orang tionghoa berpindah ke Batavia.

Soalnya kalau orang-orang  Tionghoa pergi, perniagaan di Banten akan merosot drastis. Namun kepergian orang-orang Tionghoa sukar dibendung. Pada tahun pertama keberadaan Batavia, pemukim Tionghoa  berjumlah 800. Sepuluh tahun kemudian jumlah mereka meningkat jadi 2.000. Selain pedagang, mereka adalah nelayan, tukang jahit, tukang batu, dan tukang kayu.

Seperti semua permukiman baru, Batavia memang adalah kota para lelaki. Ketika itu hanya sedikit orang Tionghoa yang bermigrasi dengan istri mereka. Di Batavia mereka mengawini penduduk asli atau membeli budak perempuan yang umumnya berasal dari Bali.

Namun mereka tetap berusaha keras mendidik putra-putra mereka sebagai orang Tionghoa. Dengan begitu mereka tetap khas secara budaya karena memang garis keturunan mereka adalah patrilineal atau dari garis pihak lelaki.



Orang-orang  Tionghoa di Batavia ternyata mempunyai kebiasaan yakni suka berjudi dan mengisap candu atau madat. Mereka sering tenggelam dalam kegiatan-kegiatan itu, sehingga pemerintah memutuskan untuk menyediakan satu jalan untuk rumah-rumah judi. Semua orang Eropa dilarang memasuki jalan ini pada waktu malam. Hal ini untuk mencegah perselisihan dan perbuatan negatif yang mungkin terjadi.

Lokasi yang terkenal adalah di Jalan Jelakeng, sekarang Jalan Perniagaan Barat. Sesuai namanya, di kawasan ini pernah terdapat 26 bangunan (jie = 2 dan lak = 6), yang semuanya dimanfaatkan untuk tujuan wisata. Orang-orang kaya kerap datang ke tempat ini. Lantai bawah umumnya digunakan untuk mengisap madat, sedangkan lantai atas untuk prostitusi dan judi.

“Selain di jalan perniagaan barat mereka juga menyediakan tempat lokalisasi para pemadat. Namanya adalah Gang Madat yang terletak di sebelah kiri Jalan Gajah Mada apabila kita menuju Jakarta Kota. Lokalisasi ini ditutup pada masa pendudukan Jepang  tahun 1942,” ujarnya.

Nama Gang Madat dan Gang Madat Besar diganti menjadi Jalan Kesejahteraan dan Keselamatan. Pada zaman Hindia Belanda merupakan tempat lokalisasi para pemadat yang terdapat di sekitar Pasar Tanah Abang. Orang yang ketagihan minum madat, dapat melepaskan nafsunya di situ tanpa perlu takut ditangkap yang berwajib.

Di kamar-kamar berukuran 300 meter itulah, tiap hari para pemadat berkumpul. Dalam foto-foto Batavia tempo doeloe. tampak para pecandu sedang tiduran sambil mengisap barang haram ini. Badan mereka kurus kering. Walaupun dilegalkan, pemakainya tidak sebanyak sekarang. Kala itu, masyarakat mengikuti seruan para alim utamanya yang mengharamkan candu.