Kisah Raibnya Ribuan Makam Ditelan Rawa Jakarta
Sabtu, 28 Maret 2015 - 07:12 WIB
Sumber :
- Muhammad Iqbal
VIVA.co.id - Sebuah plang dari besi berdiri miring di tepi jalan Kapuk Teko, Kecamatan Cengkareng, Jakarta.
Plang bercat hijau itu tampak sudah berkarat dan ditumbuhi lumut. Namun, dari kejauhan masih terlihat jelas sebuah kalimat bernada peringatan bertuliskan "Dilarang Membuang Sampah di Areal Pemakaman".
Di sisi kanan atas plang juga terdapat sebuah logo Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Mungkin bagi mereka yang baru melintas atau bertandang ke tempat itu, pasti akan bertanya, benarkah area berplang kusam itu sebuah tempat pemakaman?
Pertanyaan itu sangat layak dituturkan, karena sejauh mata memandang, di area sekitar plang, tidak terlihat satu pun batu nisan yang selama ini menjadi tanda sebuah pemakaman.
Tak ada bunga kamboja yang tumbuh, tak ada juga pelayat yang duduk bersimbuh membacakan sebait doa di sana.
Pemandangan yang tersaji di lokasi itu hanyalah hamparan eceng gondok yang subur di antara genangan air.
Namun, siapa sangka, ternyata di bawah kerimbunan tumbuhan rawa itu, terdapat ribuan makam warga.
"Kurang lebih ada sekitar 3.800 makam di tempat ini," ujar seorang pria tua bernama Nurman yang tak lain adalah pengurus pemakaman itu, Jumat 27 Maret 2015.
***
Nurman orang yang ditugaskan menjaga makam-makam tak terlihat itu menceritakan, pemakaman yang kini terkubur di bawah tanaman liar itu bernama "Pemakaman Kapuk Teko".
Areal pemakaman itu sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Itu dibuktikan dengan banyak makam yang berusia hingga lebih dari satu abad.
"Saya ditugaskan menjaga makam ini sejak tahun 1975," ujar Nurman sambil menyeka keringatnya.
Menurut Nurman, dahulu pemakaman itu ramai sekali dikunjungi peziarah terutama menjelang Hari Raya Idul Fitri dan jelang memasuki Bulan Ramadan.
Tapi, sejak tahun 1995, jumlah peziarah semakin berkurang bahkan sudah tak ada lagi peziarah yang datang untuk mendoakan sanak keluarganya yang dikebumikan di pemakaman itu.
"Mereka tak lagi datang karena makam selalu kebanjiran, bahkan banjirnya sampai dua meter," tutur Nurman.
Lokasi pemakaman yang berada di dataran rendah menjadi alasan utama kenapa air di banjir di pemakaman itu tak pernah surut hingga akhirnya secara perlahan areal makam berubah menjadi sebuah rawa.
Upaya untuk memunculkan kembali pemakaman dari bawah rawa sudah pernah dilakukan.
Tapi, semua terhenti dengan semakin tidak pedulinya pemerintah setempat pada kondisi pemakaman itu.
"Tahun 2014 pernah air di pemakaman disedot dan dibersihkan karena ada wacana pemindahan makam, tapi sampai sekarang belum ada kelanjutan wacana itu," ungkap Nurman.
***
Pria yang akrab disapa dengan panggilan Rawing itu mengisahkan, dari 3.800 makam, yang ada ahli warisnya hanya sekitar 320 makam saja.
"Itu yang punya surat kemaitian, kebanyakan lainnya sudah tidak memiliki lagi surat kematian" kata Rawing.
Selama mengurus pemakaman itu, sepengetahuan Nurman, hanya ada setengah dari makam itu yang bisa dikenali. Itu pun hanya makam yang memiliki batu nisan saja.
"Ada 530 makam muslim, dan 270 makam budha. Selain itu sudah rata dengan lumpur dan tanah" jelasnya.
Kini Nurman tidak tahu bagaiman nasib ribuan makam itu di kemudian hari. Dirinya hanya berharap pemerintah mau memindahkan dan mengalihfungsikan pemakaman itu ke tempat yang lebih layak agar bisa diziarahi ahli waris.
Kabar terakhir yang diterima Nurman, lahan pemakaman itu akan dialihfungsikan menjadi bangunan sarana pendidikan pendidikan dan masjid.
"Asal jangan dibangun rusun aja, warga menolak kalau itu, ntar orang luar pada datang semua, jadi sumber masalah bagi warga sini, kalo soal yang menuntut ganti rugi mah saya ngerti itu, sudah bagus makam bisa dipindahkan, jadi bisa ziarah, dari pada tetap disini, udah gak ada bentuk lagi makamnya," ujarnya.
Muhammad Iqbal - Jakarta
Baca Juga :
Plang bercat hijau itu tampak sudah berkarat dan ditumbuhi lumut. Namun, dari kejauhan masih terlihat jelas sebuah kalimat bernada peringatan bertuliskan "Dilarang Membuang Sampah di Areal Pemakaman".
Di sisi kanan atas plang juga terdapat sebuah logo Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Mungkin bagi mereka yang baru melintas atau bertandang ke tempat itu, pasti akan bertanya, benarkah area berplang kusam itu sebuah tempat pemakaman?
Pertanyaan itu sangat layak dituturkan, karena sejauh mata memandang, di area sekitar plang, tidak terlihat satu pun batu nisan yang selama ini menjadi tanda sebuah pemakaman.
Tak ada bunga kamboja yang tumbuh, tak ada juga pelayat yang duduk bersimbuh membacakan sebait doa di sana.
Pemandangan yang tersaji di lokasi itu hanyalah hamparan eceng gondok yang subur di antara genangan air.
Namun, siapa sangka, ternyata di bawah kerimbunan tumbuhan rawa itu, terdapat ribuan makam warga.
"Kurang lebih ada sekitar 3.800 makam di tempat ini," ujar seorang pria tua bernama Nurman yang tak lain adalah pengurus pemakaman itu, Jumat 27 Maret 2015.
***
Nurman orang yang ditugaskan menjaga makam-makam tak terlihat itu menceritakan, pemakaman yang kini terkubur di bawah tanaman liar itu bernama "Pemakaman Kapuk Teko".
Areal pemakaman itu sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Itu dibuktikan dengan banyak makam yang berusia hingga lebih dari satu abad.
"Saya ditugaskan menjaga makam ini sejak tahun 1975," ujar Nurman sambil menyeka keringatnya.
Menurut Nurman, dahulu pemakaman itu ramai sekali dikunjungi peziarah terutama menjelang Hari Raya Idul Fitri dan jelang memasuki Bulan Ramadan.
Tapi, sejak tahun 1995, jumlah peziarah semakin berkurang bahkan sudah tak ada lagi peziarah yang datang untuk mendoakan sanak keluarganya yang dikebumikan di pemakaman itu.
"Mereka tak lagi datang karena makam selalu kebanjiran, bahkan banjirnya sampai dua meter," tutur Nurman.
Lokasi pemakaman yang berada di dataran rendah menjadi alasan utama kenapa air di banjir di pemakaman itu tak pernah surut hingga akhirnya secara perlahan areal makam berubah menjadi sebuah rawa.
Upaya untuk memunculkan kembali pemakaman dari bawah rawa sudah pernah dilakukan.
Tapi, semua terhenti dengan semakin tidak pedulinya pemerintah setempat pada kondisi pemakaman itu.
"Tahun 2014 pernah air di pemakaman disedot dan dibersihkan karena ada wacana pemindahan makam, tapi sampai sekarang belum ada kelanjutan wacana itu," ungkap Nurman.
***
Pria yang akrab disapa dengan panggilan Rawing itu mengisahkan, dari 3.800 makam, yang ada ahli warisnya hanya sekitar 320 makam saja.
"Itu yang punya surat kemaitian, kebanyakan lainnya sudah tidak memiliki lagi surat kematian" kata Rawing.
Selama mengurus pemakaman itu, sepengetahuan Nurman, hanya ada setengah dari makam itu yang bisa dikenali. Itu pun hanya makam yang memiliki batu nisan saja.
"Ada 530 makam muslim, dan 270 makam budha. Selain itu sudah rata dengan lumpur dan tanah" jelasnya.
Kini Nurman tidak tahu bagaiman nasib ribuan makam itu di kemudian hari. Dirinya hanya berharap pemerintah mau memindahkan dan mengalihfungsikan pemakaman itu ke tempat yang lebih layak agar bisa diziarahi ahli waris.
Kabar terakhir yang diterima Nurman, lahan pemakaman itu akan dialihfungsikan menjadi bangunan sarana pendidikan pendidikan dan masjid.
"Asal jangan dibangun rusun aja, warga menolak kalau itu, ntar orang luar pada datang semua, jadi sumber masalah bagi warga sini, kalo soal yang menuntut ganti rugi mah saya ngerti itu, sudah bagus makam bisa dipindahkan, jadi bisa ziarah, dari pada tetap disini, udah gak ada bentuk lagi makamnya," ujarnya.
Muhammad Iqbal - Jakarta
![vivamore="Baca Juga :"]
[/vivamore]
(ren)