Kisah Beda Si Pitung 3: Merampok demi Perjuangan
- VIVAnews/Anhar Rizki Affandi
VIVA.co.id - Lepas dari aksi dan segala kemasyhuran Pitung, apa yang dikenal saat ini, sebagai “Rumah Pitung” yang berlokasi di daerah Marunda, Jakarta Utara, sesungguhnya adalah milik H. Syafiudin, seorang bandar perdagangan ikan yang kaya raya.
Rumah Pitung berupa rumah panggung yang bahan materialnya terbuat dari kayu jati, dan sebagiannya masih asli ini, merupakan pemandangan yang sangat menakjubkan. Di dalam rumah tersebut juga masih tersimpan sebagian perabotan peninggalan zaman Pitung, semisal meja, kursi, tempat tidur, dan lain sebagainya.
Baca cerita sebelumnya:
Kemudian, mengenai cerita perampokan dan peralihan kepemilikan rumah H. Syafiudin, terdapat dua versi. Versi pertama mengatakan, bahwa Si Pitung memang benar-benar merampok rumah H. Syaifudin dengan alasan ia tidak peduli terhadap rakyat miskin.
Sedangkan versi kedua meragukan tindak perampokan tersebut, malah memperkirakan, bahwa H. Syaifudin justru menyerahkan rumah miliknya kepada Pitung dengan ikhlas, berikut sejumlah uang untuk membantu perjuangannya.
Sebagai seseorang yang digelari “perampok” oleh Belanda dan para tuan tanah, memamg membuat nama Pitung jadi jelek, karena identik dengan perbuatan melawan hukum. Namun demikian, ternyata Pitung tidak pernah merasakan hasil rampokannya. Bahkan, ia pun tidak pernah beristri, walau sempat bertunangan. Sebagai seorang buronan yang tidak menetap di suatu tempat, keinginan untuk melanjutkan ke pelaminan tidak pernah terlaksana.
Pitung juga adalah sosok yang religius dan menganut satu aliran tariqat. Ia tidak pernah berjudi, apalagi mabuk-mabukan, sebagaimana kebiasaan kebanyakan pemuda, kala itu. Berada dalam lingkungan pendidikan H. Naipin, saat ia menempa diri, Pitung juga dapat menulis dalam aksara Arab dan Latin.
Mengenai kenapa dan untuk apa Pitung melakukan aksi perampokan, beberapa sumber di “Rumah Pitung,” menjelaskan, hal itu dijalankan setelah tokoh-tokoh pemberontak dan pembela petani di Jakarta dan sekitarnya kesulitan dana.
Kala itu, tokoh yang paling banyak menyumbang dana untuk para pejuang, adalah Raden Saleh. Di mana akhirnya, pada 1870 harta Raden Saleh disita oleh pihak Belanda. Selanjutnya, pada 1880, Raden Saleh meninggal dunia di daerah Bogor, Jawa Barat, dalam keadaan miskin.
Pada intinya, menurut sumber yang sama, seluruh harta hasil rampokan Si Pitung diserahkan untuk kepentingan perjuangan. Dan, bukan untuk dibagi-bagikan langsung kepada rakyat kecil sebagaimana selama ini didongengkan. Maka itulah pulalah, di luar konteks kesaktiannya, Pitung amat sulit ditangkap oleh Belanda, karena banyak tokoh yang melindungi.
Bersambung.
Kami akan mengulas kisah Si Pitung yang berbeda dengan yang lain dalam beberapa tulisan. Tulisan akan terbit setiap pagi. Nantikan tulisan-tulisan selanjutnya.
![vivamore="Baca Juga :"]
[/vivamore]