Misteri Air Mata dan Tangisan di Museum Taman Prasasti (2)

Monumen peringatan terhadap hukuman mati Pieter Erbelrveld.
Sumber :
  • Dody Handoko
VIVA.co.id - Pieter Erberveld, seorang campuran Jerman dan Thailand yang membenci orang-orang Belanda, terpidana mati karena berencana memberontak oleh pemerintahan Batavia, mengalami penyiksaan sadis. Pieter ditangkap saat akan melakukan pemberontakan pada 31 Desember 1721, atau tepat pada saat pesta malam pergantian tahun 1722,  .

Pemerintah Batavia saat itu mengutus Reeyke Heere, Komisaris VOC untuk urusan Bumiputera, untuk melakukan penangkapan terhadap Pieter bersama dengan komplotannya, termasuk Raden Kartadirya & Layeek. Mereka dipenjara dan dipaksa untuk mengakui rencana pemberontakannya.
 
Kurang lebih empat bulan Pieter dipenjara. Sebelum akhirnya ia dan kelompoknya dijatuhi hukuman mati pada 22 April 1722 atas perintah Collage van Heemradeen Schepenen yang kala itu menjabat sebagai Dewan Pejabat Tinggi Negara.
 
Berbeda dengan hukuman mati yang biasanya dilakukan pemerintah Batavia dengan jalan memancung korban atau menggantungnya di depan balaikota, hukuman mati bagi Pieter Erberveld dilaksanakan di luar tembok Batavia sebelah Selatan. Tepatnya di tempat yang sekarang bernama Kampung Pecah Kulit. Hukuman untuknya sangat sadis.

Masing-masing tangan dan kaki Pieter serta pendukungnya diikat pada empat ekor kuda yang dipacu ke empat penjuru mata angin yang berlawanan hingga putus dan terpecah-pecah. Asal muasal nama Kampung Pecah Kulit diambil dari peristiwa tersebut.
 
Sebagai peringatan agar penduduk tidak mengikuti jejak Pieter Erberveld. Pemerintah kolonial memotong kepala Pieter Erberlveld dan menancapkannya pada sebuah tombak. Kepala Pieter dibiarkan tergantung tanpa boleh disentuh.
 
Sementara di lahan bekas pembantaian, dibangun monumen peringatan dilengkapi dengan tembok batu dan patung tengkorak tertusuk tombak di atasnya.
 
Pada monumen tersebut terpampang 9 baris tulisan berbahasa Belanda yang dilengkapi dengan terjemahan aksara Jawa Kuno. Kurang lebih isinya menyatakan :
 
'Sebagai kenang-kenangan yang menjijikan pada si jahil terhadap negara yang telah dihukum Pieter Erberveld. Dilarang mendirikan rumah, membangun dengan kayu, meletakan batu bata dan menanam apapun di tempat ini sekarang dan selama-lamanya. Batavia, 14 April 1722'
 
Saat ini tidak jelas dimana keberadaan tembok monumen tersebut. Diduga monumen tersebut dibongkar. Replikanya ditempatkan di Museum Taman Prasasti. Sedangkan lokasi bekas tempat pembantaian Pieter Erberveld di Jalan Pangeran Jayakarta juga telah berubah fungsi menjadi sebuah show room mobil sejak tahun 1986.

Dari banyak museum di Jakarta, Museum Taman Prasasti memiliki keunikan sendiri. Museum ini menyimpan begitu banyak kisah kematian para tokoh penting dari berbagai periode sejarah yang berbeda.

Museum ini memang dikhususkan untuk menyimpan berbagai macam batu nisan dan prasasti yang memiliki nilai sejarah tinggi.

Diresmikan pada tahun 1977 oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Semula Museum Taman Prasasti adalah pemakaman umum bernama Kebon Jahe Kober seluas 5,5 ha dan dibangun tahun 1795 untuk menggantikan kuburan lain di samping gereja Nieuw Hollandsche Kerk, sekarang Museum Wayang, yang sudah penuh.

Makam baru ini menyimpan koleksi nisan dari tahun sebelumnya karena sebagian besar dipindahkan dari pemakaman Nieuw Hollandse Kerk pada awal abad 19. Nisan yang dipindahkan ini ditandai dengan tulisan HK, Hollandsche Kerk.

Pada tanggal 9 Juli 1977, pemakaman Kebon Jahe Kober dijadikan museum dan dibuka untuk umum dengan koleksi prasasti, nisan, dan makam sebanyak 1.372 yang terbuat dari batu alam, marmer, dan perunggu. Karena perkembangan kota, luas museum ini kini menyusut tinggal hanya 1,3 ha saja.

![vivamore="Baca Juga :"]

[/vivamore]