Perjuangan Royatih "Mengemis" Rumah Sakit Pakai KJS

Pasien KJS di Rumah Sakit Tarakan
Sumber :
  • VIVAnews/Anhar Rizki Affandi

VIVAnews - Seorang ibu bernama Royatih harus menerima kenyataan pahit akan mahalnya biaya layanan kesehatan di Jakarta. Akibat tidak mampu secara ekonomi, Royatih harus melihat anaknya, Ana Mudrika (14), terlunta-lunta saat minta diobati di rumah sakit, sampai akhirnya meninggal dunia.

Royatih menceritakan anaknya mengalami sakit hebat di bagian perutnya, Selasa malam 5 Maret lalu. Dia pun berusaha mencari pertolongan pertama dengan membawa buah hatinya ke bidan terdekat. Namun, karena rasa sakit yang dirasakan oleh anaknya itu kian parah, ibu rumah tangga tersebut memutuskan membawanya ke rumah sakit.

"Saya bawa ke Rumah Sakit Firdaus. Saya masuk ke ruang IGD, saya tanya, 'Pak, ini menerima KJS (Kartu Jakarta Sehat), nggak? Saya punyanya KJS'. Dia jawab, 'Di sini tidak terima KJS, di sini yang terima KJS cuma paru-paru'," cerita Royatih menirukan dialognya dengan pihak rumah sakit saat ditemui VIVAnews di kediamannya, Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara, Sabtu 9 Maret 2013 malam.

KJS adalah program kesehatan unggulan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo.

Royatih mengakui dia tidak memiliki uang untuk mengobati anaknya di rumah sakit, termasuk di RS Firdaus. Namun, karena terpaksa, dia bersikukuh agar anaknya dirawat di sana. Beruntung, RS Firdaus bersedia memberikan pertolongan pertama.

"Anak saya diinfus. Yang penting ditolong," ujarnya.

Dokter di rumah sakit ini menyatakan Ana terkena infeksi pencernaan akibat makanan kotor.

Beberapa saat kemudian, Firdaus memberikan rujukan Ana harus dirawat di ruang bedah atau ICU rumah sakit lain karena kondisinya yang semakin parah. Royatih bersama suaminya pun bergegas mencari rumah sakit rujukan lain.

"Dalam keadaan anak saya sakit, saya titip anak saya sama ayahnya lalu saya sama adik saya malam-malam pergi mencari rumah sakit. Saya tidak lihat jam. Itu malam-malam, jalan sudah sepi," ujarnya.

Royatih mengemukakan pertama kali dia masuk ke RS Islam. Di rumah sakit ini, petugas atau perawat mengatakan tidak ada tempat di IGD. Dia berusaha membujuk, "Anak saya parah sekali, nggak ada ruang bedah atau bagaimana?" Namun, pegawai rumah sakit bersikukuh dengan jawabannya.

"Saya lari ke Koja, katanya Koja juga penuh. Kalau Koja memang IGD-nya kayak di terminal, banyak pasien," dia menjelaskan.  

Royatih melanjutkan ikhtiarnya, dia lari lagi ke RS Mulia Sari. Tidak berbeda, petugas Mulia Sari juga mengatakan tidak menerima KJS dan tidak ada ruang ICU yang kosong. Dia malah mempertanyakan surat rujukan dari Puskesmas yang tidak dibawa Royatih.

"Kata saya, 'Ini sudah malam, Bu, nggak mungkin saya ke Puskesmas'. Dia ngomongnya agak gimana, saya langsung pulang," kata Royatih, kesal.

Tak menyerah, Royatih lantas ke RS Tugu, Pelabuhan. Lagi, seorang suster muda mengatakan tidak ada kamar kosong.

"Ada kamar kosong untuk anak kecil, yang berat badannya mencapai 15 kg ke bawah. Anak saya katanya 15 kg ke atas, walaupun juga anak kecil. Saya memohon, 'Terimalah Bu, satu saja'. 'Nggak bisa Ibu, saya ini baru kontrol'. Jam 12, saya lihat inipun ada di kamar kelas II. Sedangkan KJS itu kelas III," ucapnya.

Setelah berputar-putar, aakhirnya anak Royatih diterima di RS Admira, Rawamangun. "Ada ruang ICU, tapi mereka minta diagnosanya, penyakitnya apa?" kata Royatih.

Tapi terlambat sudah. Nafas Ana sudah tersengal. Dia meninggal pada Sabtu, 9 Maret 2013. (kd)