Reformasi Birokrasi Dalam Perizinan Berusaha, Satgas Raker Dengan PTSP Jabodetabek

Arif Budimanta
Sumber :
  • Istimewa

Jakarta, VIVA – Koordinasi terus dilakukan untuk melakukan transformasi birokrasi, terutama dalam rangka percepatan sosialisasi dari UU Cipta Kerja. Maka, Satgas UU Cipta Kerja melakukan koordinasi dengan menggelar rapat dengan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, DPMPTSP seluru Jabodetabek dan Jawa Barat.

Rapat mengambil tema “Transformasi Reformasi Birokrasi untuk Mewujudkan Kemudahan Berusaha Melalui UU Cipta Kerja”. Sekretaris Satgas UU Cipta Kerja, Arif Budimanta mengatakan, perlu ada proses transformasi yang berkelanjutan di Indonesia dengan perencanaan yang bersifat taktis. 

“Perlu ada satu struktur yang agile dalam proses birokrasi di tengah perekonomian global yang dinamis saat ini,” kata Arif, dikutip Sabtu 3 Agustus 2024. 

Jelas dia, transformasi struktur yang dilakukan oleh pemerintah salah satunya adalah UU Cipta Kerja. Menurut dia, perundang-undangan ini menjadi instrumen melakukan deregulasi dan debirokratisasi.

“Diharapkan dengan adanya UU Cipta Kerja ini akan tercipta proses perizinan yang memberikan kemudahan, kepastian, serta pemberdayaan bagi pelak usaha, khususnya usaha kecil dan menengah,” jelas Arif. 

Dijelaskan Arif lebih lanjut, spirit perizinan dalam berusaha harus sesuai dengan yang diusung oleh Kementerian PAN-RB yakni bergerak untuk reformasi birokrasi berdampak. Sebab ini menjadi arahan dari Presiden Jokowi.

“Reformasi birokrasi berdampak ini dalam konteks UU Cipta Kerja berarti setiap kebijakan yang dikeluarkan akan berdampak pada tingkat kebermanfaatan di masyarakat. Salah satunya seperti penciptaan lapangan kerja yang akan berdampak pada penyerapan tenaga kerja baru di Indonesia,” jelasnya. 

Dia menjelaskan seperti apa monitoring yang dilakukan satgas. Termasuk juga adalah evaluasi dari pelaksanaan atau implementasi UU Cipta Kerja itu sendiri.

“Tugas kita adalah melakukan proses kanalisasi seluruh proses perizinan yang nantinya akan dilakukan mitigasi dan manajemen risiko terkait isu sosial, ketenagakerjaan, keselamatan kerja, HAM, ataupun risiko lingkungan.” Ungkap Arif. 

Sedangkan Ketua Pokja Koordinasi Data dan Informasi, I Ktut Hadi Priatna menjelaskan bahwa dalam persyaratan perizinan dasar akan ada batasan waktu permohonan. Yakni  berkaitan persetujuan lingkungan, Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), dan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR). 

Lebih lanjut dijelaskannya, pengawasan dan sanksi harus diperkuat. Sebab di UU Cipta Kerja ada ketentuan yang mengatur sanksi administrasi yang berjenjang.

“Kebijakan sanksi administrasi ini menjadi penting, jangan sampai baru diberikan peringatan tapi izin usahanya sudah dicabut,” Jelas Ktut. 

Sedangkan Direktur Sinkronisasi Pemanfaatan Ruang Kementerian ATR/BPN, Rahma Julianti, bahwa Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang atau KKPR adalah pintu pertama yang harus dilakukan sebelum perizinan diterbitkan. 

“KKPR ini terbagi menjadi dua, ada yang otomatis mendaftar melalui sistem, ada yang melalui mekanisme tertentu,” jelas Rahma.

Denga adanya UU Cipta Kerja, jelas dia, KKPR ini sebagai single reference yang menjadi acuan untuk pemanfaatan ruang dan penerbitan hak atas tanah. 

“Serta setelah UU Cipta Kerja, persetujuan KKPR ini akan terbit dalam 20 hari kerja. Sebelumnya bisa sampai berbulan-bulan.” Jelas Rahma dalam sesi pemaparannya. 

Dari data Kementerian ATR/BPN, usaha mikro kecil (UMK) paling banyak menerbitkan KKPR melalui pernyataan mandiri sekitar 12,4 Juta. Ini membuktikan, kata dia, adanya kemudahan dalam birokrasi terutama dalam ruang lingkup perizinan dasar bagi pelaku UMKM.

Bahwa sampai saat ini, jelas Rahma, masih terus dilakukan revisi terkait kebijakan perizinan berusaha untuk memberikan kebijakan yang mudah. Dengan  begitu, proses reformasi birokrasi bisa berjalan dengan baik.