Fahri Bakal Jadi Saksi Ahli Dugaan Mafia Tanah 50 Hektar di Depok

Ilustrasi tanah
Sumber :

VIVA – Pakar Hukum Tata Negara Fahri Bachmid ikut menyoroti kasus mafia tanah yang diduga terjadi di BPN Kota Depok. Menurut Fahri, gugatan sengketa Tata Usaha Negara yang diajukan oleh Ida Farida sebagai penggugat melawan Kepala Kantor BPN Kota Depok, memang saat ini tengah berlangsung di PTUN Bandung.

"Dalam Perkara Nomor: 101/G/2021/PTUN.BDG., diketahui rangkaian persidangan, sudah digelar agenda pemeriksaan saksi dan alat bukti dokumen," kata Fahri dalam keterangan tertulisnya, Senin 3 Januari 2022.

Menurut mantan Kuasa Hukum Presiden Jokowi dan KH. Ma’aruf Amin pada saat sengketa Pilpres 2019 ini, dirinya pun akan ikut hadir sebagai saksi ahli di persidangan yang akan digelar Kamis mendatang. Ia akan menjelaskan pokok permasalahan sesuai dengan hukum yang berlaku di negara kita. 

“Mudah-mudahan dengan masukan yang nantinya akan saya sampaikan bisa menjelaskan semua permasalahan yang ada," ungkapnya.

Ketika disinggung apakah dari kasus itu disinyalir ada mafia tanah di kantor BPN Depok yang terlibat. Fahri mengaku tak bisa menjelaskan masalah tersebut. 

“Karena aspek hukum yang saya lihat ini tata usaha, jadi tidak melihat aspek yang ada pidana. Tentunya saya sebagai ahli tidak melihat fakta, meski ada dua alat hukum namun yang melihat hal tersebut adalah penyidik,"kata dia.

Sebelumnya diberitakan, dugaan aksi mafia tanah yang melibatkan oknum pegawai Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga terjadi di Depok, Jawa Barat. Pasalnya, dengan mudahnya si oknum petugas mengeluarkan sertifikat tanah, padahal lahan tersebut masih dalam proses persidangan.

Kasus inilah yang dialami seorang ibu bernama Farida, 56, yang menjadi korban para mafia tanah. Sebuah lahan yang ada di kawasan Sawangan, Depok, dan ia miliki dengan bukti kepemilikan SK Kinag, ternyata direbut setelah sebelumnya dinilai cacat administrasi sehingga dibatalkan.

Melalui kuasa hukumnya, Bernard Paulus Simanjuntak SH. MH menduga, ada oknum dari pegawai BPN yang terlibat dalam pembuatan sertifikat di lahan tersebut. Pasalnya, lahan yang tengah menjalani proses hukum tiba-tiba muncul sebuah surat yang dikeluarkan dari kantor BPN Depok. "Ini sangat aneh, apalagi kami juga menemukan banyak kejanggalan dari terbitnya surat tersebut," katanya.

Diceritakan Benard, kasus ini bermula saat  Farida mencoba mengelola lahan yang ada di Sawangan tersebut. Berbekal Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria (Sk-Kinag), si ibu mendaftarkan hal tersebut ke BPN dan penetapan Pengadilan Negeri. "Dari hal itu, Ibu Ida melakukan pembebasan sekaligus memberi kompensasi bagi penggarap, hingga akhirnya terbit SHM," ujarnya.

Setelah SHM didapat, mulai lah muncul permasalahan, di mana pada lahan itu juga muncul sertifikat atas nama PT Pakuan yang dipecah menjadi sembilan. Karena hal itu, sertifikat keduanya pun akhirnya dibatalkan melalui SK Kanwil BPN di tahun 2017 lalu.

"Sejak saat itu, terjadilah sengketa kepemilikan lahan yang diketahui memiliki luas 50 hektar," ungkapnya.