Transformasi Jejak Budaya Ali Sadikin di Cikini

Taman Ismail Marzuki (TIM) sebelum direvitalisasi.
Sumber :
  • Dok. Pengelola TIM

VIVA – Ikon wajah baru kesenian dan kebudayaan di Jakarta mulai tampak ke permukaan. Bangunannya unik, tertata sangat apik dengan nuansa modern, berdiri kokoh di tengah gedung-gedung menjulang khas perkotaan, selaras perkembangan zaman tapi tetap artistik. Ini lah wajah baru Taman Ismail Marzuki (TIM) di Cikini, Jakarta Pusat.

Adalah Andra Matin, arsitek yang masyhur dengan karya arsitektur yang ikonik dengan struktur yang unik dan cerita di baliknya. Pun dengan bangunan TIM modern, Andra Matin mengaku terinspirasi  terinspirasi dari lirik lagu "Rayuan Pulau Kelapa" karya Ismail Marzuki (1914-1958).  

Beberapa bait lirik lagu Rayuan Pulau Kelapa berikut tinggi rendahnya not balok itu kemudian ditransfer ke dalam disain arsitektur bangunan TIM modern. Andra menuturkan salah satu bangunan baru dengan rancangan unik di TIM, yakni Perpustakaan dan Wisma Seni atau disebut Gedung Panjang.

Gedung Panjang dulunya adalah pusat kuliner TIM, kini disulap menjadi gedung 14 lantai yang estetik. Dari kejauhan, bangunan tampak berundak-undak, tidak rata seperti bangunan tinggi konvensional, dengan elemen motif tumpal dari batik Betawi. 

Menurut Andra, kata-kata pada syair lagu Rayuan Pulau Kelapa itu menyiratkan pada simbol rakyat harus mencintai negaranya. "Tiga not digabung jadi satu fasad. Fasadnya disusun secara acak," kata Andra menjelaskan kenapa bangunannya tampak berundak dan tidak rata layaknya not balok.

Gedung Panjang TIM ini masuk tahap satu revitalisasi TIM yang hingga pekan ke-111 ini progres realisasi bangunan ini mencapai 98,20 persen. Fasilitas di Gedung Panjang terdiri dari Galeri Seni, Perpustakaan Umum, Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Kantor Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Ruang Diskusi Komite Seni dan Wisma Seni.

Sedangkan, Gedung Parkir Panjang dan Masjid Amir Hamzah telah mencapai 100 persen sehingga secara keseluruhan realisasi pembangunan revitalisasi TIM tahap satu mencapai 98,70 persen.

Taman Ismail Marzuki (TIM) setelah direvitalisasi.

Photo :
  • VIVA.co.id/ Willibrodus

Untuk tahap kedua revitalisasi TIM, realisasi pengerjaan mencapai 32,40 persen hingga memasuki pekan ke-30 dengan rincian Planetarium dan Pusat Pelatihan sebesar 27,53 persen, Graha Bhakti Budaya (40,87 persen), Teater Halaman (24,60 persen), dan Gallery Annex progresnya (78,38 persen).

Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) DKI Jakarta, PT Jakarta Propertindo (Perseroda) atau Jakpro berkomitmen menghadirkan tampilan baru TIM yang sejalan dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menjadikan TIM sebagai pusat wisata edukasi kesenian dan kebudayaan terbaik di belahan bumi selatan.

Dengan berbagai keunggulan dan mengusung konsep "mixed-use building", TIM akan menjadi "Urban Art Center" dan "Creative Hub" di Kota Jakarta dan Indonesia.

Dibalik kemegahan TIM sekarang, pusat kesenian dan kebudayaan di Ibu Kota Jakarta itu menyimpan sejarah panjang dari awal berdirinya. Dikutip dari Dinas Kebudayaan Jakarta, Taman Ismail Marzuki diresmikan langsung oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin pada 10 November 1968. 

Nama Ismail Marzuki dipilih atas penghargaannya sebagai seniman asal Betawi (Jakarta) yang telah berjasa menciptakan lebih dari 200 lagu, di antaranya lagu-lagu perjuangan bangsa, seperti Halo-Halo Bandung, Berkibarlah Benderaku, Nyiur Melambai dan Sepasang Mata Bola.

Tapi siapa sangka, pusat kesenian yang luasnya 7,2 hektare ini awalnya merupakan ruang rekreasi umum Taman Raden Saleh, serta kebun binatang Jakarta (saat ini pindah ke Ragunan). Kemudian, Ali Sadikin mengubah area ini menjadi pusat kesenian agar para seniman Jakarta dapat berkarya. 

Taman Ismail Marzuki (TIM) setelah direvitalisasi.

Photo :
  • VIVA.co.id/ Willibrodus

Mulanya, Gubernur Ali Sadikin sedang mencari tempat pengganti ruang ekspresi bagi para seniman dikarenakan area Pasar Senen dan Balai Budaya Jakarta tak dapat lagi digunakan akibat perpecahan ideologi politik. 

Bang Ali, sapaan akrabnya, melihat taman di daerah Cikini Raya ini tepat menjadi pusat kesenian dan kebudayaan. Bang Ali lalu menyerahkan konsep perencanaan kepada para seniman. 

Sejak awal tahun 1968, Kantor Harian KAMI menjadi tempat banyak seniman dan budayawan berdiskusi. Selain itu, pondokan Salim Said di Matraman Raya juga menjadi tempat pertemuan. Adapun seniman yang sering berkumpul diantaranya: Arifin C. Noer (dulu wartawan di Pelopor Baru), Goenawan Mohamad dan Ed Zulverdi (keduanya waktu itu wartawan di harian KAMI) juga Sukardjasman (wartawan Sinar Harapan). 

Rancangan pembentukan TIM kemudian diketik oleh Arifin C Noer dan diserahkan oleh Christianto Wibisono kepada Bang Ali Sadikin, yang akhirnya menyetujui gagasan tersebut. Bang Ali menyatakan Pemprov DKI akan menyediakan sarana, dana, dan fasilitas penunjang operasional TIM. Sedangkan, pengelolaan diserahkan kepada seniman dan budayawan. 

Bang Ali juga membentuk Badan Pembina Kebudayaan yang menjadi cikal bakal Dewan Kesenian Jakarta, dan diketuai oleh Trisno Soemardjo. Pada 1968, ada 25 anggota pertama Badan Pembina: Trisno Soemardjo (pelukis), Arief Budiman (sastrawan), Sardono W. Kusumo (penata tari), Zaini (pelukis), Binsar Sitompul (musikus), Teguh Karya (sutradara), Goenawan Mohamad (sastrawan), Taufiq Ismail (penyair), Pramana Padmodarmaya (pemain teater), Ayip Rosidi (penulis), H.B. Jassin (kritikus sastra), Misbach Yusa Biran (sutradara film dan sineas), Oesman Effendi, D. Djajakusuma (sutradara film), Asrul Sani (penulis naskah drama, sutradara film), Moh. Amir Sutaarga, D.A. Peransi (perupa) dan Sjuman Djaja (sutradara film). 

Seiring berjalannya aktivitas di TIM, muncul pergolakan kembali di antara komunitas seniman. Para seniman kiri beranggapan Gubernur Ali dan Badan Pembina Kebudayaan tidak mengakomodir kepentingan mereka sehingga mereka meminta dibentuk satu Lembaga Kesenian. 

Pada 1973, seturut saran para seniman, Bang Ali mengambil jalan tengah dengan membentuk Akademi Jakarta yang berfungsi sebagai penasehat gubernur di bidang seni, serta berperan dalam penunjukkan seniman dan budayawan yang tergabung menjadi anggota dan pengurus Badan Pembina Kebudayaan (saat ini Dewan Kesenian Jakarta). 

Saat awal berdiri, TIM hanya memiliki dua gedung teater, satu teater terbuka, area pameran, serta gedung Planetarium yang sudah lebih awal dibangun. Gedung-gedung tersebut (dua gedung bioskop, Garden Hall, dan Podium) merupakan peninggalan Taman Raden Saleh yang dulunya sering dimanfaatkan warga untuk menonton film di malam hari. 

Teater Musikal Raksasa, Taman Ismail Marzuki (22/12/2016)

Photo :
  • VIVA.co.id/ Putri Firdaus

Seiring perkembangan kawasan, TIM memiliki lebih banyak fasilitas yang bisa digunakan: tiga  gedung teater (Graha Bakti Budaya, Teater Besar, Teater Kecil), dua  galeri seni (Galeri Cipta II dan Galeri Cipta III), dua  plaza (Plaza Pancasila dan Plaza Teater Kecil), serta sebuah taman parkir. 

Adapula fasilitas penunjang lainnya mencakup perpustakaan daerah, pusat dokumentasi H.B Jassin, deretan kedai makanan nusantara, kineforum, toko buku Jose Rizal, dan Masjid Amir Hamzah.

Sejak berdirinya di tahun 1968, TIM menjadi saksi terjadinya eksperimentasi artistik para seniman Indonesia yang waktu itu banyak difasilitasi oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Banyak karya penting seperti Samgita Pancasona (Sardono W. Kusumo, 1969), atau teater mini kata W.S Rendra, lahir di TIM. 

Di ranah teater, TIM menyaksikan pertunjukan perdana Teater Koma di akhir 1980an ataupun pertunjukan teater garda depan Teater SAE di akhir 1980an, awal 1990an. Karya-karya eksperimental seperti ini mengundang kontroversi di wilayah publik, melalui perdebatan kritis di media massa maupun ruang publik lainnya.  

Selain itu, TIM juga menjadi panggung bagi seniman dunia ternama seperti koreografer modern asal  Amerika Serikat seperti  Martha Graham (tampil 1974) atau Alwin Nikolais (1979); koreografer Jerman Pina Bausch (tampil 1974) dan pertunjukan kelompok butoh pertama di Indonesia, Byakkosha (1981). Pertunjukan-pertunjukan ini menjadi bahan diskusi bagi para seniman, tidak jarang mewujud menjadi polemik dalam lingkup nasional. Karya seniman-seniman daerah terbaik pun berpentas di TIM.  

Para seniman yang berkarya pada tahun-tahun awal berdirinya TIM, akhirnya menjadi pengajar pada Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ), yang kampusnya ada di belakang kompleks teater TIM. Dengan dukungan Ali Sadikin, beberapa seniman merancang pembentukan lembaga pendidikan tinggi kesenian ini. 

Area yang dulunya merupakan arena pacu balap anjing menjadi salah satu bagian gedung perkuliahan. Peresmian lembaga pendidikan seni ini dihadiri langsung oleh Presiden Soeharto pada 25 Juni 1976. 

Sistem pendidikan yang berjalan menggunakan sistem sanggar atau padepokan, dengan pengajar kebanyakan seniman yang sudah sering berproses dan berkarya di lingkungan TIM. Lima tahun setelahnya, lembaga ini beralih nama menjadi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dengan sistem pendidikan formal sesuai usulan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan saat itu. 

Kini, IKJ dikelola oleh Yayasan Seni Budaya Jakarta, yang diketuai oleh Slamet Rahardjo.