Pengamat: Laporan Diabaikan Polisi, Korban Pelecehan KPI Makin Drop

Ilustrasi korban bullying
Sumber :
  • Pixabay/ wokandapix

VIVA – Ahli Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel menyebut korban pelecehan seksual dan perundungan pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengalami banyak tekanan, tidak hanya dari para pelaku yang merupakan teman sekantornya tapi juga lingkungan sekitarnya, termasuk aparat Kepolisian.

Hal itu merujuk pengakuan MS yang mengaku dua kali laporannya terkait pelecehan seksual rekan sekantornya di KPI ditolak petugas Polsek Gambir. MS mengaku dua kali melapor ke polisi pada tahun 2019, dan terakhir pada 2020. Dua-duanya tidak ditanggapi serius aparat.

"Dalam kasus ini (dugaan pelecehan sesama jenis di lingkungan KPI) korban sudah melapor ke polisi, apa yang bisa dikatakan barangkali ini sebuah potret dalam psikologi forensik disebut victimisasi sekunder," kata Reza Indragiri dalam keterangannya, Jumat, 3 September 2021.  

Victimisasi primer adalah oleh para pelaku pelecehan. Sedangkan victimisasi sekunder dilakukan oleh pihak semestinya memberikan pertolongan. Dalam hal ini, kata Reza, jika merujuk pernyataan korban MS, pihak yang melakukan victimisasi sekunder adalah pihak kepolisian.

"Patut dicari tahu seberapa jauh sesungguhnya pihak kepolisian kalau memang demikian sudah melakukan victimisasi sekunder terhadap korban," ujar Reza.

"Jadi lambatnya kasus ini terekpose, lambatnya kasus ini ditindaklanjuti tampaknya tidak hanya diakibatkan oleh dinamika psikologis dua poin di atas, tapi barangkali ada kontribusi dari otoritas penegakan hukum sendiri yang melakukan pengabaian terhadap nasib korban," imbuhnya.

Lebih lanjut, Reza menjelasan alasan kasus kejahatan seksual cenderung lama terungkap. Pertama, korban sepenuhnya berada di bawah penguasaan pelaku. Korban merasa dirampas daya kendali terhadap lingkungan, terlebih lagi kalau pelakunya lebih dari satu orang.

Kedua, korban kadang-kadang terlambat menyadari bahwa sesunguhnya ia sedang mengalami psikinisasi. Menurut Reza, korban untuk beberapa waktu awalnya mungkin menganggap ini sebagai sebuah candaan yang ia terima, candaan yang wajar-wajar saja dilakukan oleh orang dewasa. 

"Lalu kemudian beberapa waktu tersadar bahwa ini sesungguhnya bukan sebuah candaan tapi ini adalah sebuah victimisasi, ini menyakitkan dan merugikan. Ketika kesadaran sudah di victimisasi itu muncul, membuat si korban terlambat mencari pertolongan atau terlambat untuk melapor," ungkapnya.

Kata Polisi Soal Laporan Diabaikan

Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus menyebut, rilis yang beredar melalui aplikasi pesan singkat soal kasus perundungan yang dialami pegawai KPI berinisial MS, bukan dibuat korban.
 
"Saya luruskan lagi, hasil keterangan awal pelapor tidak pernah membuat rilis seperti yang beredar di teman-teman media. Dia tidak pernah merasa membuat," kata Yusri Yunus di Polda Metro Jaya, Jakarta, Kamis kemarin 2 September 2021.
 
Dalam rilis yang beredar itu, disebutkan bahwa kejadian perundungan terjadi pada 22 Oktober 2015 dan telah dilaporkan ke Polsek Gambir Polres Metro Jakarta Pusat, tapi tidak mendapat tanggapan.

"Dari keterangannya, MSA menyatakan tidak pernah ke Polsek Gambir untuk membuat laporan polisi, tapi memang ada kejadian itu pada tahun 2015, di kantor KPI Pusat, Jalan Gajah Mada, Jakarta," ujar Yusri.
 
Namun, kejadian perundungan pada enam tahun silam itu, akhirnya dilaporkan oleh korban, MSA, ke Polres Metro Jakarta Pusat pada Rabu malam, 1 September 2021, dengan didampingi oleh Komisioner KPI, Nuning Rodiyah. 

MSA sebagai korban melaporkan terduga pelaku melanggar pasal Pasal 289 KUHP dan atau 281 KUHP juncto Pasal 335 KUHP. Terduga pelaku yang dilaporkan ada lima orang yakni berinisial, RM, MPFB, RT, EO dan CL.

Cerita kasus pelecehan seksual rekan sekantor ini diketahui setelah beredar pengakuan MS korban pelecehan seksual di KPI di aplikasi pesan instan WhatsApp dengan maksud meminta perhatian akan adanya tindakan pelecehan seksual di mana korban dan pelaku adalah sama-sama pria.

MS mengaku telah mengalami perundungan dan pelecehan seksual oleh teman sekantornya sejak 2012. Perlakuan tidak menyenangkan dari teman sekantor itu disebutkan MS, mulai dari diperbudak, dirundung secara verbal maupun non verbal, bahkan ditelanjangi.

Kejadian itu terus terjadi sampai 2014 hingga akhirnya MS divonis mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) usai ke psikolog di Puskesmas Taman Sari lantaran semakin merasa stres dan frustrasi.

"Kadang di tengah malam, saya teriak-teriak sendiri seperti orang gila. Penelanjangan dan pelecehan itu begitu membekas, diriku tak sama lagi usai kejadian itu, rasanya saya tidak ada harganya lagi sebagai manusia, sebagai pria, sebagai suami, sebagai kepala rumah tangga. Mereka berhasil meruntuhkan kepercayaan diri saya sebagai manusia," kata MS dalam surat terbukanya.