Cerita Iptu Ayu Bagi Waktu Jadi Ibu Rumah Tangga dan Tangkap Penjahat
- VIVA/Wilibrodus
VIVA – Polisi Wanita (Polwan) Indonesia memasuki usia ke-72 tahun. Kini, peran Polwan menyamai peran polisi pria dalam penegakkan hukum maupun pembinaan masyarakat. Sejumlah Polwan di beberapa kantor Kepolisian pun mengadakan syukuran di hari jadinya, yang jatuh pada Selasa, 1 September 2020. Seperti di Polres Metro Jakarta Pusat.
Perwakilan Polwan yang juga Kanit 2 Reserse Narkoba Polres Metro Jakarta Pusat Iptu Dewa Ayu Santi mengatakan, Hari Ulang Tahun (HUT) Polwan kali ini diadakan secara sederhana di tengah pandemi COVID-19. Masyarakat sipil tidak diundang dan hanya melibatkan aparat kepolisian di lingkup Polres Metro Jakarta Pusat.
"Tradisi Polwan kali ini unik. Kami harus ikuti protokol kesehatan karena memang saat ini kita sedang berada dalam situasi pandemi COVID-19," katanya ditemui.
Baca juga: Pesan Kapolri di Hari Jadi Polwan ke-72
Dia menjelaskan, HUT Polwan kali ini hanya diisi arahan dari Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono dan Kapolda Metro Jaya Irjen Nana Sudjana melalui video conference. Selain itu, khusus untuk internal Polres Metro Jakarta Pusat, mereka memotong kue ulang tahun sebagai bentuk perayaan HUT Polwan kali ini.
"Wakapolri dan Kapolda Metro Jaya mengarahkan kami untuk selalu menjaga kamtibmas. Selain itu, harapan bagi kami (Polwan) untuk ikut berkontribusi bagi kemajuan institusi Polri," ujarnya.
Selain bertugas sebagai anggota Polri, Ayu yang kesehariannya merupakan ibu rumah tangga ini memiliki peran yang cukup banyak. Ia kerap harus menjalani tugas dinas tanpa pulang ke rumah. Salah satunya adalah ketika sedang melakukan penelusuran peredaran narkoba di wilayah Jakarta Pusat. Namun, sebagai anggota Polri, ia mengakui, bahwa Polwan Indonesia saat ini sudah berada di usia dewasa.
"Kami berharap Polwan bisa meningkatkan daya saing di tingkat pekerjaan masing masing. Dan bisa berperan penting di tengah keluarga, maupun dalam dinas kepolisian. Sebagai anggota Polri sekaligus ibu rumah tangga, kadang saya harus membagi waktu lebih banyak dalam tugas kedinasan sebagai anggota Polri," ujar Polwan berusia 28 tahun ini.
Sebab, Ayu menyebutkan, menjadi Polwan bukan tugas yang mudah. Perannya sebagai ibu rumah tangga di lingkungan keluarga, terkadang ia harus membagi waktu secara tepat.
"Polwan seperti saya ini double job. Selain kegiatan kantor untuk urusan dinas kepolisian, juga tanggung jawab terhadap keluarga menjadi salah satu tugas yang tidak bisa dibiarkan begitu saja," katanya.
Ia mengaku sudah terbiasa menghadapi pelaku kejahatan jalanan yang dikenal sadis. Apalagi, tugas sebagai Kanit 2 Reserse Narkoba yang dinilai cukup berat. Namun, ia menegaskan, sebagai anggota Polri, hal itu sudah menjadi tugas yang harus dijalankan.
“Saya santai saja dan sudah terbiasa dengan semua itu. Toh ini sudah risiko pekerjaan yang saya jalani,” ujarnya.
Ayu mengaku, dirinya sudah terbiasa bekerja sebagai penyidik seraya mengasuh sang buah hati. Tak jarang, ia harus berangkat pagi dari rumahnya di kawasan Jakarta Timur untuk bekerja memimpin apel. Padahal, malam harinya ia harus mengikuti patroli keamanan dan memburu pelaku kejahatan lainnya.
Pernah suatu ketika, dia mengungkapkan, pada saat sedang mengasuh anaknya, ia mendapat panggilan mendesak lantaran ada tawuran antar pelajar dan ia harus turun untuk melerai tawuran tersebut.
“Itu kejadiannya malam-malam. Saya lagi mengasuh anak tapi ada panggilan. Ya saya jalani. Kebetulan suami juga mendukung saya,” ujarnya.
Ia yakin, tugasnya sebagai polisi bisa memberikan manfaat kepada masyarakat luas. Peran sebagai pengayom dan pelayan masyarakat adalah tugas mulia yang sedang dijalani oleh para Polwan seperti Ayu ini.
Polwan di Indonesia lahir pada 1 September 1948 di kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Polwan terbentuk tatkala Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) menghadapi Agresi Militer Belanda II, di mana terjadi pengungsian besar-besaran pria, wanita, dan anak-anak. Pada saat itu, warga diminta untuk meninggalkan rumah mereka agar menjauhi titik-titik peperangan.
Untuk mencegah terjadinya penyusupan, para pengungsi harus diperiksa oleh polisi. Namun, para pengungsi wanita tidak mau diperiksa, apalagi digeledah secara fisik oleh polisi pria. Sehingga, pada saat itu dibentuk polisi wanita untuk dapat melakukan peran kepolisian saat berhadapan dengan wanita.