Perubahan APBN Dinilai Cuma Strategi untuk Cari Pinjaman

Menkeu Sri Mulyani (tengah) berbincang dengan Presiden Joko Widodo (kiri)
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

VIVAnews - Ekonom senior INDEF Dradjad Wibowo mengingatkan pemerintah dan DPR untuk tidak melakukan perubahan APBN 2020 dengan skenario pelebaran defisit 3 hingga 5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sebaiknya, pemerintah fokus terlebih dahulu merealokasi anggaran yang ada dan memastikan anggaran tersebut terserap optimal untuk belanja barang-barang dan alat terkait kesehatan.

“Tidak perlulah sampai defisit 5 persen. Realokasi anggaran saja dulu yang maksimal dan pastikan itu semua dibelanjakan untuk public health spending,” kata Dradjad melalui keterangan tertulisnya, Rabu, 25 Maret 2020.

Dradjad menilai salah satu cara utama menyelamatkan perekonomian akibat pandemi Covid-19 adalah melalui belanja kesehatan publik secara besar-besaran. Realokasi anggaran harus diprioritaskan pada upaya pengadaan untuk alat rapid test, pelaksanaan test massal corona, Alat Pelindung Diri (APD) untuk petugas medis, pengadaan tempat tidur dan kamar rumah sakit, tambahan petugas medis, obat-obatan, masker dan lain sebagainya.

Selain itu, pemerintah juga mesti memperhatikan kesiapan rumah sakit-rumah sakit daerah yang kapasitasnya terbatas menangani virus corona. Realokasi anggaran, lanjut Dradjad, juga kemudian perlu diarahkan pada upaya mengantisipasi PHK, bantuan sosial masyarakat, subsidi bunga KUR dan pinjaman, serta operasi pasar untuk bahan pangan.

Di tempat terpisah, ekonom senior Rizal Ramli menduga perubahan APBN 2020 dengan skenario pelebaran defisit hingga 5 persen dari PDB adalah bagian dari strategi untuk menciptakan alasan agar Indonesia membutuhkan pinjaman dari IMF.

"Aji mumpung, pinjem lagi dari IMF. Dasar SPG IMF. Loh, bukan situ yang jual angin sorga bisa narik Rp11.000 triliun dari luar negeri?" kata Rizal Ramli yang juga mantan anggota Tim Panel Ekonomi PBB itu.

Padahal, lanjut Rizal, ketentuan defisit maksimal 3 persen harus diikuti pemerintah sesuai UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. "Batas max defisit itu mau ditingkatkan SMI menjadi 5 persen. Dasar ratu utang," kata Rizal Ramli yang juga mantan Menko Ekuin dan Menteri Keuangan era pemerintahan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur itu.

Menurut Rizal Ramli, keinginan Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk memeroleh pinjaman kembali dari IMF bukan diperuntukkan buat hal yang strategis. Tapi, lanjut Rizal, pinjaman itu hanya digunakan intervensi rupiah yang semakin terpuruk.

"Dari awalnya niat memang mau ngutang ke IMF. Padahal dari dana realokasi anggaran ditambah accumulated SAL (sisa anggaran lebih, tidak terpakai) cukup besar. Karena yang sangat mereka perlukan saat ini untuk doping rupiah lagi," kata Rizal Ramli.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membuka peluang kenaikan defisit anggaran agar dapat melampaui batas 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Langkah ini diambil di tengah pananganan pandemi corona atau Covid-19 yang diyakini bakal berdampak pada belanja pemerintah tetapi sekaligus memangkas penerimaan.

Bahkan, Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat menyarankan pemerintah melebarkan defisit APBN tahun 2020 sampai 5 persen dari yang saat ini maksimal 3 persen.

Di sisi lain, Sri Mulyani tak membantah bila implikasi pelebaran defisit ini bakal berpengaruh pada sumber pembiayaannya.

Ia sendiri mengaku sudah melihat-lihat sejumlah alternatif pembiayaan dari tiga lembaga yaitu IMF, World Bank, dan Asia Development Bank (ADB). Ia juga tengah menjajaki pinjaman yang bersumber dari bilateral. Dalam hal ini negara-negara yang sudah biasa mendukung pendanaan anggaran di Indonesia.

“Saya melihat pilihan finacing terbaik agar Indonesia tetap bisa merespons dengan biaya dan risiko sekecil mungkin,” kata Sri Mulyani.