Anak Punk, Jalan dan Alquran (I)

Anak-anak punk tengah mengaji di kolong fly over Tebet, Jakarta Selatan.
Sumber :
  • VIVAnews/ Anwar Sadat

VIVA – Jari jemari pemuda itu menari-nari di atas senar ukulele. Alunan suara musik  mengiringi dia bernyanyi. Pria berdandan ala punk ini mengamen  di kawasan Kampung Utan, Tangerang Selatan.  

Asli Aji Humaidi namanya. Lelaki 20 tahun itu memilih berpenampilan anak punk bukan untuk bergaya. "Punk bagi saya bukan untuk gaya-gayaan. Kita (Punk) berusaha melawan penindasan. Punk mewakili rakyat yang tertindas untuk melawan, meluapkan emosi lewat lagu," katanya saat berbincang dengan VIVAnews, di Kampung Utan, Tangerang Selatan, Kamis, 8 Juli 2019. 

Perkenalan Aji dengan anak-anak punk dimulai 12 tahun silam. Ketika itu, ia merasa tidak nyaman dengan kondisi di rumah akibat perceraian kedua orangtuanya. Ia lantas memilih hidup di jalan. 

Awalnya, dia hanya sekadar bergaul dengan anak-anak punk. Lama kelamaan dia mulai mengikuti gaya mereka. Mulai dari pakaian, mentato tubuh, hingga menindik telinga dan lidahnya. Tato pertama dia buat pada umur 12 tahun. Tato itu didapat secara gratis dari temannya yang memiliki mesin tato rakitan.

Orangtua menentang ketika dia menjadi anak Punk. Bahkan, dia sempat diusir. Tetapi seiring waktu, orangtuanya bisa menerima kondisi Aji. Kini, sehari-hari, dia hidup di jalanan. Tidur di depan emperan toko atau di sekitar stasiun Pondok Ranji. 

Aji hanya sesekali balik ke rumah. Dia lakukan itu untuk memberi uang hasil mengamen kepada ibunya. Meski sang ibu telah menikah lagi dengan seorang pegawai negeri sipil (PNS),  Aji tetap memberikan uang kepada ibunya sebagai bentuk bakti seorang anak.

Jika pulang ke rumah, Aji lebih memilih pada malam hari. Itu untuk menghindari omongan tetangga yang terkadang mencibir dia dan keluarganya. “Kalau  siang kadang kasian ibu saya, suka diomongin tetangga kalau saya balik," ujarnya.

Hasil mengamen yang didapat  hanya sekitar Rp50 ribu sehari. Jumlah itu masih kurang untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Untuk bertahan hidup dengan mengamen naik dan turun angkot, juga bukan perkara mudah. Terkadang, dia mesti bersitegang dengan sopir angkot hingga harus berhadapan dengan kelompok lain.

Bukan hanya itu. Dia juga diburu oleh petugas dari dinas sosial. Ketika mengamen, dia harus kucing-kucingan dengan petugas. "Pernah waktu itu udah dikepung (petugas), langsung aja keluarin gesper Spike, kita puterin, petugasnya mundur, kita lari. Tapi ada juga kita enggak bisa kemana-mana. Pernah waktu itu disetrum sampe lemes. Saya jatuh terus diseret ke mobil dibawa ke panti sosial," ujar Aji.

Saat itu, dia dibina selama tiga bulan oleh dinas sosial. Dia diberikan pelatihan dan keterampilan agar tidak mengamen lagi ke jalan. Namun lantaran sulitnya mendapatkan pekerjaan, dia kembali mengamen di jalanan.

Dalam mengarungi hidup di jalan,  pria asal Ambon ini sempat jatuh cinta pada seorang wanita, sesama anak punk. Aji menyebutnya ladies punk. Namun pernikahan mereka tak bertahan lama. Kini, keduanya telah bercerai.

Pergolakan Batin

Selama 12 tahun menjadi anak punk, banyak kejadian dialami Aji. Suatu ketika, pada 2018, dia menemukan hal yang tak biasa. Usai mengamen,  dia mendengar suara azan pada sore itu begitu indah sampai merasuk ke dalam hatinya.

Tak hanya itu. Saat dia mengamen di jalan maupun di dalam angkot, beberapa kali dia mendapati benda seperti tasbih, peci haji, buku surat yasin. Sejak Desember 2018 sampai Januari 2019, dia terus mengalami kejadian itu.

Barang yang ditemukannya itu disimpan dalam saku jaket lusuhnya. Sempat pada suatu malam, dia mengumpulkan barang-barang tersebut. Seraya merenungi apa yang telah dialaminya. Pikirannya pun menerawang ke perjalanan hidupnya. 

Batinnya lantas bergolak. Ada dorongan untuk memperbaiki kehidupannya. Dia ingin menjalankan perintah agama yang selama ini telah ditinggalkan. "Saya ngerasa kayak orang yang udah jatuh ke sumur, saat ini saya berusaha ingin naik lagi, ingin lebih baik lagi lah intinya," kata Aji.

 

(umi)