Cerita Pilu Ortu Mahasiswa yang Babak Belur Usai Demo
- bbc
Kepolisian dituding melanggar sejumlah peraturan saat bertugas mengawal demonstrasi mahasiswa, pelajar, dan pegiat demokrasi di sekitar gedung DPR, Jakarta, Senin (30/09).
Bukan hanya dugaan pengeroyokan pedemo, polisi juga disebut melanggar hak orang-orang yang mereka tangkap usai unjuk rasa dengan menghalangi mereka bertemu keluarga hingga pembatasan akses bantuan hukum.
Namun Polri mengklaim tak melanggar ketentuan apapun selama demo menentang beberapa RUU kontroversial dan `pelemahan KPK`.
Polisi menganggap perlu mengejar dan menangkap orang-orang yang mereka tuding perusuh. Tujuannya, kata mereka, agar kericuhan tidak meluas.
BBC News Indonesia bertemu pendemo yang ditahan polisi di rutan Polres Jakarta Pusat, yang mengaku korban salah tangkap. Kami juga berbincang dengan sejumlah orang tua yang menyebut anaknya babak belur dikeroyok polisi.
Gas air mata
Pelanggaran standar operasional prosedur polisi, menurut Tim Advokasi untuk Demokrasi, setidaknya tampak pada penggunaan gas air mata pada unjuk rasa di Senayan, 30 September lalu.
Dalam kronologi yang disusun gabungan kelompok masyarakat sipil itu, sebelum petang polisi beberapa kali melemparkan gas air mata ke arah demonstran.
Gas air mata juga ditembakkan polisi jelang azan magrib, saat pedemo menggelar konferensi pers. Setelahnya gas air mata makin sering dilontarkan ke arah pengunjuk rasa dengan alasan untuk membubarkan massa.
"Masih siang, sudah ada upaya pembubaran, bahkan dengan upaya paksa, bukan dengan imbauan. Semestinya pun ada tahapan yang dilakukan kepolisian," kata Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana.
Pasal 20 Peraturan Kapolri (Perkap) 7/2012 menyebut polisi dapat membubarkan penyampaian pendapat di ruang publik yang melanggar peraturan. Pelanggaran itu didasarkan pada 47 larangan yang termuat dalam beleid itu.
Tim advokasi menyatakan, tak ada satupun larangan yang dilanggar para pedemo Senin (30/09) lalu. Gas air mata, berdasarkan Perkap 2/2019, adalah salah satu peralatan yang dapat digunakan kepolisian untuk menindak huru-hara.
Adapun, peraturan internal Polri itu mendefinisikan penindakan huru-hara sebagai rangkaian kegiatan menghadapi kerusuhan massa.
Senin (30/09) lalu, sebelum petang, BBC menyaksikan kerumunan pedemo di sekitar DPR sempat kocar-kacir akibat lontaran gas air mata. Sebelum gas air mata itu menguap di kerumunan massa, tak terjadi kerusuhan apapun.
Gas air mata itu memancing sejumlah pedemo melemparkan berbagai benda ke arah polisi yang berbaris menutup akses ke Gedung DPR.
Gas air mata juga ditembakkan kepolisian usai petang di sejumlah lokasi yang berjarak lebih dari satu kilometer dari titik demonstrasi di depan Gedung DPR.
Sejumlah rekaman berupa foto dan video memperlihatkan polisi menembakkan gas air mata hingga Senayan City-Universitas Moestopo (sekitar 2,5 kilometer sisi selatan DPR) dan Universitas Atma Jaya (satu kilometer di tenggara DPR).
Personel pengendalian massa (Dalmas) Polri juga menembakkan gas air mata di kawasan Stasiun Palmerah, 600 meter dari DPR.
Mengejar pedemo
Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, menyebut penindakan Polri terhadap demo 30 September di DPR berlebihan. Menurutnya, polisi hanya boleh membubarkan pengunjuk rasa, bukan mengejar atau memburu pedemo yang telah meninggalkan lokasi.
Hal serupa dikatakan Arif Maulana dari LBH Jakarta.
"Saat massa sudah membubarkan diri, mereka dikejar. Kami tidak tahu alasannya. Ini seperti pemburuan, orang-orang yang selesai aksi unjuk rasa bisa ditangkap," katanya.
Pasal 20 huruf d dan e dalam Perkap 7/2012 memberi hak pada polisi untuk menghentikan dan membubarkan unjuk rasa.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, Brigjen Dedi Prasety, menyebut personelnya mengejar pedemo yang ia tuding memicu kericuhan.
"Mereka itu perusuh. Di seluruh dunia pun, kalau sudah rusuh, ada upaya mitigasi secara sistematis agar kerusuhan tidak meluas dan merusak," ujar Dedi kepada BBC.
Setelah petang, 30 September lalu, pengejaran polisi terhadap pedemo terjadi hingga kawasan Senayan City, kampus Atma Jaya, Penjernihan, Palmerah, hingga Slipi.
Sebuah video memperlihatkan sekitar 12 polisi menangkap dan memukuli seseorang di SPBU Penjernihan, beberapa jam usai unjuk rasa.
Namun pada video lainnya, massa juga tampak mengeroyok seseorang yang mereka tuduh polisi tak berseragam di sekitar Semanggi.
Pasal 27 Perkap 7/2012 menyatakan, peserta demo yang diduga melanggar hukum dan telah ditangkap harus diperlakukan secara manusiawi. Pasal ini melarang polisi melakukan tindak kekerasan terhadapnya.
Polisi juga terikat Perkap 8/2009 tentang implementasi HAM dalam tugas kepolisian. Pasal 16 beleid ini mengharuskan polisi menghormati hak tersangka yang ditangkap.
"Tindakan penangkapan bukan hukuman bagi tersangka," demikian bunyi huruf c pasal 16 itu.
`Anak saya babak belur, sekarang ditahan`
Pengacara publik di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Era Purnamasari, menyebut penanganan unjuk rasa kepolisian dalam dua pekan terakhir di berbagai kota semestinya ditilik sebagai satu rangkaian.
"Seluruh kejadian berawal dari satu tuntutan publik yang sama," kata Era merujuk sekitar tujuh desakan publik terhadap DPR dan pemerintah terkait beleid kontroversial, dwifungsi TNI-Polri hingga penangkapan aktivis.
Di Jakarta, demo di depan DPR berlangsung sejak 23 September lalu.
BBC bertemu Subali, ayah Muhammad Wahyu Aji (18) yang sejak 26 September ditahan di Rutan Polda Metro Jaya. Wahyu, kini berstatus tersangka, ditangkap usai unjuk rasa yang berakhir ricuh di depan DPR, Kamis pekan lalu.
Wahyu Aji dituduh polisi membawa bom molotov saat demo dan membuat ujaran kebencian. Tudingan itu dibantah Subali yang menyebut saat pemeriksaan anaknya membuat pengakuan di bawah tekanan penyidik.
"Saya sedih karena anak saya babak belur, matanya hitam, giginya patah. Kata pimpinan penyidik, saat di TKP, anak saya dipukuli petugas yang sedang emosi tidak terkendali," ujar Subali.
Merujuk Pasal 28 Perkap 7/2012, polisi dilarang melakukan tujuh hal kontraproduktif saat menangkap pedemo yang melanggar hukum.
Larangan terhadap polisi itu antara lain tindakan spontanitas atau emosional untuk mengejar, membalas lemparan, menghujat, atau menangkap dengan kekerasan.
Pasal itu juga melarang polisi melakukan penganiayaan atau pelecehan yang melanggar HAM serta tindakan lain yang melampaui kewenangan kepolisian.
Dalam sebuah video yang diduga direkam di depan kampus Moestopo, beberapa polisi yang menenteng tameng dan pentungan terdengar mengeluarkan kata-kata binatang.
Subali juga mengeluh karena baru diizinkan penyidik bertemu Wahyu tujuh hari setelah penahanan. Proses pendampingan hukum untuk Wahyu pun disebut Subali dipersulit penyidik.
"Saya menghadap ke kepala unit, dia berpesan, entah serius atau tidak, `jangan bawa-bawa LBH`."
"Saya kan awam di bidang hukum, nanti bisa-bisa anak saya bukannya diperingan, malah diperberat. Ini hak saya sebagai warga negara. Masa tidak boleh didampingi penasehat hukum?" kata Subali.
Subali meminta Eka Wiratama Siagian, pengacara LBH Jakarta, untuk mendampingi Wahyu. Kamis (03/10) lalu, Eka mengaku dilarang penyidik membuat surat kuasa advokat untuk Wahyu.
"Mau tanda tangan surat kuasa di dalam rutan tidak diperbolehkan. Alasannya `perintah atasan`. Padahal KUHAP menyatakan kuasa hukum berhak mendampingi tersangka," kata Eka.
Juru Bicara Polri, Brigjen Prasetyo, membantah ada kebijakan untuk mempersulit kasus para pedemo yang kini ditahan di sejumlah polres di Jakarta dan Polda Metro Jaya,
"Tidak ada kebijakan seperti itu. Semua sesuai prosedur," kata Dedi melalui pesan singkat.
`Saya lagi di pinggir jalan, ditangkap polisi`
BBC bertemu Sultan Farel Farizki (19) di Rutan Polres Jakarta Pusat. Lulusan SMK yang kini merupakan pekerja kontrak bidang kebersihan gedung di kantor Kedutaan Besar Malaysia.
Farel mengaku sebagai korban salah tangkap usai demo di DPR pekan lalu. Berikut petikan penuturannya:
Jam setengah 11 malam saya ke Stasiun Palmerah bersama empat teman, pulang kerja, nunggu kereta ke Bekasi, sekalian mau lihat demo.
Tapi kereta malam itu ternyata sudah nggak beroperasi, jadi kami harus nunggu kereta pagi. Kami nonton demo dari rel kereta, terus cari makanan di Pasar Palmerah.
Sekitar jam setengah dua dini hari kami ditangkap beberapa polisi berbaju preman, waktu itu saya lagi minum kopi. Kami berempat diangkut ke mikrolet, termasuk penjual kopinya, ke Polres Jakarta Barat.
Di sana saya sempat tanda tangan surat kurang alat bukti. Jumat lalu saya dipindahkan ke Polres Jakarta Pusat. Saya tidak bawa batu atau senjata tajam. Teman-teman saya sudah dilepaskan, tapi saya tidak.
- BBC
`Bagikan masker tapi dituduh rusuh`
Komala tak mengira putranya, Faisal Rahma Putra, yang bekerja di RSUD Kepulauan Seribu di kawasan Gunung Sahari, diciduk polisi karena tuduhan merusuh usai demo 30 September di DPR.
Faisal kini berstatus saksi, tapi dituding polisi melanggar beberapa pasal, salah satunya pasal 170 KUHP tentang kekerasan terhadap orang atau barang secara bersama-sama.
"Anak saya jalan dengan temannya ke sekitar lokasi demo, mereka berencana bagi masker ke para demonstran.
"Waktu massa bubar, dia juga bubar. Dia menunggu di Indomaret. Selang beberapa menit, gas air mata sudah sampai ke lokasi itu.
"Dia bingung pergi ke mana, lalu dia masuk ATM. Di sana dia ditangkap polisi."
"Anak saya tidak bawa senjata tajam, cuma masker sebagai bentuk solidaritas, kenapa dituduh membakar dan merusak fasilitas umum," kata Komala.
- BBC
Polda Metro Jaya mengaku mengkap 1.365 orang usai demo 30 September lalu. Sebanyak 611 orang di antara mereka merupakan pelajar.
Dari jumlah itu, 380 orang ditetapkan sebagai tersangka. Ada 179 tersangka yang kini masih ditahan polisi.
Perkap 8/2009 mengharuskan polisi untuk menginformasikan penangkapan seseorang sesegera mungkin kepada keluarga mereka.
Namun ketentuan itu juga diduga dilanggar karena antrean orang tua justru mengular di Polda Metro, 1 Oktober lalu. Mereka merasa kehilangan dan berinisiatif mencari tahu keberadaan anaknya pasca demo--hal yang juga dikisahkan Subali.
Dugaan pelanggaran KUHAP lainnya yang dilakukan polisi adalah penangkapan lebih dari 24 jam. Fikri Herdiansyah (19) diduga korban salah tangkap usai demo dan telah mendekam di rutan Polres Jakarta Pusat selama lebih dari empat hari.
Ubis Fauzi Rahmat, ayah Fikri, menyebut anaknya berstatus saksi setelah ditangkap 30 September lalu di sekitar Tanah Abang. Ia menyebut Fikri dipukuli polisi tak lama setelah kericuhan dan pembakaran mobil terjadi di kawasan itu.
"Tidak ada alat bukti, kalau ada berarti dia memang sudah siap demo dan rusuh. Dia kan bukan pedemo, apalagi ikut merusak," kata Ubis.
Sepanjang demo di DPR, Jakarta, sejak 23 September lalu, satu orang dinyatakan tewas, yaitu Maulana Suryadi. Kapolri Jenderal Tito Karnavian menuduh Maulana tewas tanggal 25 September sebagai perusuh, bukan sebagai pedemo.
Tito mengklaim tak ada bekas penganiayaan di tubuh Maulana. Ia mengklaim Maulana kehilangan nyawa akibat kekurangan oksigen. Namun mengutip , keluarga Maulana menyebut terdapat bekas pukulan di sekujur jenazahnya. Darah pun terus mengalir dari telinga dan hidung Maulana saat jenazah dikuburkan.