Kenapa Terjadi Polemik dalam Pengelolaan Air di Jakarta?
- bbc
Polemik tentang pengelolaan air di DKI Jakarta berlanjut setelah Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) atas putusan kasasi tentang privatisasi air.
Putusan PK tersebut menganulir putusan kasasi pada 10 April 2017 bahwa pengelolaan air harus dikembalikan dari dua perusahaan swasta, PT Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta, kepada pemerintah provinsi.
Dikabulkannya permohonan PK dari Kementerian Keuangan itu dikonfirmasi juru bicara MA, Abdullah. "Iya kabul, tapi amar lengkapnya belum bisa disampaikan," kata Abdullah kepada BBC News Indonesia lewat sambungan telepon.
Adapun pihak penggugat, Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta, mengatakan belum bisa berkomentar karena belum menerima salinan amar putusannya.
"Infonya yang kami terima memang seperti itu, ada putusan peninjauan kembali yang diajukan Menteri Keuangan atas putusan kasasi yang berkekuatan hukum tetap. Tapi sayangnya kita belum terima salinannya," kata pengacara Koalisi, Nelson Nikodemus Simamora.
Ini merupakan perkembangan terbaru dalam polemik pengelolaan air di DKI Jakarta yang telah berlangsung selama lebih dari enam tahun.
Apa persoalannya?
Sejak 1998, pengelolaan air di DKI Jakarta dari hulu sampai hilir dipegang oleh dua perusahaan swasta: PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT PAM Jaya, yang belakangan berganti nama menjadi Aetra. Perusahaan milik Pemda DKI, PAM Jaya, meneken kontrak dengan dua perusahaan tersebut yang berlaku sampai 2023.
Pada 2012, masyarakat yang bergabung dalam Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) mengajukan gugatan menolak pengelolaan air oleh swasta ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Nelson Nikodemus Simamora menjelaskan alasan Koalisi menggugat adalah kerja sama yang diteken PAM Jaya dengan perusahaan swasta membuat "rakyat menderita" dan merugikan negara.
Badan Pemeriksa Keuangan DKI Jakarta mencatat kerugian yang diderita PAM Jaya sejak meneken kontrak penswastaan air hingga Desember 2015 mencapai Rp1,4 Triliun. Kerugian tersebut antara lain terjadi karena PAM Jaya harus membayar kewajiban (shortfall) kepada perusahaan swasta sebesar Rp395 miliar dan Rp237,1 miliar.
Nelson juga menyoroti bahwa pipanisasi air baru mencapai 60%. Ini berarti, dari 10,37 juta penduduk Jakarta, lebih dari 4 juta warga belum mendapat akses ke air bersih. Adapun di sebagian daerah yang telah terjangkau pipanisasi, kualitas air dinilai sangat buruk. Misalnya di Kelurahan Rawa Badak, Jakarta Utara.
Erna Rosalina dari komunitas Solidaritas Perempuan Jabotabek, yang telah melakukan survei di Rawa Badak sejak 2010, mengatakan bahwa air yang keluar dari keran di daerah tersebut "bau, terkadang bau got, terkadang bau besi, terkadang bau kaporit, dan keruh". Selain itu, air di Rawa Badak tidak mengalir setiap waktu sehingga warga terkadang harus berjaga sampai malam untuk menunggu air. Semua ini terjadi meskipun warga tetap harus membayar tagihan air setiap bulannya, kata Erna.
Walhasil, pengeluaran warga setiap bulan untuk air pun sangat besar. "Membeli air itu dari pikulan atau air jerigen, yang harganya per jerigen itu Rp5000, beda ketika misalnya air mati atau listrik mati maka harga air itu menjadi Rp10.000. Itu yang bisa dipake tambahan untuk mandi," Erna menjelaskan.
"Nah untuk air minum maka mereka harus beli lagi air isi kemasan. Jadi bisa diperkirakan itu kurang lebih untuk air saja mereka harus mengeluarkan uang Rp400.000," tambahnya.
Menurut Erna Rosalina, warga Rawa Badak merasa bahwa urusan air lebih baik ketika pengelolaannya dipegang oleh pemerintah. Sebelum dikelola oleh swasta, warga bisa mendapatkan air dengan lebih murah dan kualitasnya pun lebih baik. "Kalau sekarang kan air mahal, tapi kualitasnya buruk," ujarnya.
Dirut PD PAM Jaya, Priyatno Bambang Hernowo, mengakui bahwa pelayanan air bersih belum menjangkau semua warga Jakarta. "Ini kan baru mencapai 60%. Bagaimana kemudian kita mempercepat akses air bersih itu, yang 40% itu bisa secepatnya menikmati pelayanan air perpipaan kita," katanya kepada BBC News Indonesia.
Bagaimana perjalanan kasusnya?
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 24 Maret 2015 mengabulkan gugatan Koalisi. Para tergugat, yakni yakni pemerintah pusat, PT Aetra, dan PT Palyja, mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat. Pengajuan banding dikabulkan, menganulir putusan pengadilan sebelumnya.
Putusan banding tersebut pun ditantang lagi oleh Koalisi, hingga pada 10 April 2017, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan kasasi yang menyatakan bahwa kerja sama antara PAM Jaya dengan perusahaan swasta ilegal dan bahwa pengelolaan air minum di DKI Jakarta harus dikembalikan kepada PAM Jaya.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membentuk Tim Evaluasi Tata Kelola Air yang bertugas merumuskan rekomendasi untuk mengakhiri perswastaan air. - Getty Images
Untuk melaksanakan perintah pengadilan tersebut, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membentuk Tim Evaluasi Tata Kelola Air pada Agustus 2017. Tim tersebut bertugas merumuskan rekomendasi kepada Gubernur untuk mengakhiri penswastaan air.
Namun, dalam perkembangan terbaru, MA mengabulkan permohonan PK yang diajukan Kementerian Keuangan atas putusan kasasi pada Maret 2018.
Dirut PD PAM Jaya, Priyatno Bambang Hernowo, juga mengatakan belum bisa berkomentar tentang putusan PK. "Satu, kita belum menerima amar putusan itu ya. Yang kedua, detail dari minutasinya kan kita belum tahu begitu. Jadi apakah kemudian putusan PK itu kemudian menggugurkan putusan MA kemarin atau enggak," kata Priyatno.
Bagaimana ke depannya?
Peninjauan kembali (PK) adalah upaya hukum terhadap suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Setelah PK, tidak ada lagi upaya hukum yang bisa ditempuh. Tapi tidak berarti aspirasi masyarakat untuk menolak penswastaan air akan berakhir di PK karena menurut pengacara KMMSAJ, Nelson Nikodemus Simamora, masih ada jalan lain.
Jika MA akhirnya mengizinkan penswastaan air, kata Nelson, maka putusan tersebut akan bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 85 tahun 2015 yang memberikan pembatasan dalam pengusahaan air.
"Pengusahaan air ini pertama-tama adalah ia harus digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Terus yang mengelola harus BUMD atau BUMN. Terus harus memperhatikan keberlanjutan lingkungan hidup."
"Kalau misalnya semua sudah dipenuhi, rakyat sudah cukup dengan air untuk kehidupan mendasar – cuci, gosok, minum. Baru boleh untuk kemudian diberikan kepada swasta untuk diusahakan. Dengan catatan itu lho, sudah cukup untuk rakyat," ia menjelaskan. (ren)