Pelaku Penipuan Deepfake Modus Catut Nama Presiden Prabowo untuk Bansos Beraksi Sejak 2020
- VIVA.co.id/Andrew Tito
Jakarta, VIVA — Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri berhasil mengungkap kasus penipuan yang memanfaatkan teknologi deepfake untuk mencatut nama Presiden Prabowo Subianto dan sejumlah pejabat negara.
Pelaku berinisial AMA (29) ditangkap di Lampung pada 16 Januari 2025, setelah melakukan aksi penipuan sejak tahun 2020.
Pelaku menggunakan teknologi deepfake untuk membuat video palsu yang menampilkan Presiden Prabowo Subianto, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan beberapa pejabat lain seolah-olah memberikan pernyataan resmi terkait program bantuan sosial (bansos). Video ini diunggah ke berbagai platform media sosial, dilengkapi dengan nomor WhatsApp yang dapat dihubungi.
“Dalam video tersebut, tersangka mencantumkan nomor WhatsApp dengan harapan menarik perhatian masyarakat. Korban yang terpedaya diarahkan untuk mengisi formulir penerima bansos dan diminta mentransfer sejumlah uang,” ujar Dirtipidsiber Bareskrim Polri, Brigjen Himawan Bayu Aji, dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis 23 Januari 2025.
Selama empat bulan terakhir, AMA berhasil meraup keuntungan sekitar Rp 30 juta dari aksinya. Banyak masyarakat tertipu dengan video manipulasi tersebut, yang tampak sangat meyakinkan.
“Tersangka telah melakukan penipuan ini sejak tahun 2020 dengan menggunakan teknologi manipulasi gambar dan suara,” jelas Himawan.
Pengungkapan kasus ini tidak hanya bertujuan menghentikan tindak pidana penipuan, tetapi juga menjaga kredibilitas pemerintah. Himawan menegaskan pentingnya mencegah penyebaran informasi palsu yang dapat memengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
“Jika informasi menyesatkan ini terus dibiarkan, maka akan menimbulkan framing negatif dan manipulasi opini publik terhadap pemerintahan Bapak Presiden dan kabinetnya,” ujar Himawan.
Saat ini, AMA tengah menjalani proses penyidikan lebih lanjut untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pelaku diduga melanggar Pasal 45A ayat (1) Jo Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dengan ancaman pidana penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda hingga Rp1 miliar.
Kasus ini menjadi pengingat akan bahaya teknologi deepfake yang semakin canggih. Teknologi ini memungkinkan manipulasi gambar dan suara hingga terlihat seperti nyata, yang dapat digunakan untuk tujuan ilegal seperti penipuan, propaganda, atau pencemaran nama baik.
Polri mengimbau masyarakat untuk lebih waspada terhadap informasi yang tersebar di media sosial, khususnya terkait program bantuan pemerintah.
“Pastikan informasi tersebut berasal dari sumber resmi agar tidak menjadi korban penipuan,” pungkas Himawan.
Sebagai tindak lanjut, Polri bekerja sama dengan kementerian terkait untuk memperkuat pengawasan konten di media sosial dan memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai bahaya penipuan berbasis teknologi. Pemerintah juga akan mengintensifkan kampanye literasi digital agar masyarakat dapat lebih kritis dalam menerima informasi.
Dengan pengungkapan kasus ini, diharapkan masyarakat dapat lebih berhati-hati dan tidak mudah tergiur dengan iming-iming bantuan sosial yang tidak jelas sumbernya. Selain itu, upaya penegakan hukum ini menjadi bukti keseriusan Polri dalam menjaga marwah pemerintah dan melindungi masyarakat dari ancaman siber.