Dua Penyerang Novel Baswedan Dinilai Salah Artikan Jiwa Korsa

RM, pelaku penyerangan air keras Novel Baswedan
Sumber :
  • VIVAnews/Bayu Januar

VIVA – Peneliti Institute for Security and Strategic Studies atau ISESS, Khairul Fahmi mengatakan, dua pelaku penyerangan terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, RM dan RB dianggap telah salah mengartikan semangat korsa Polri.

Dia menilai, aksi penyiraman air keras itu, bukanlah bentuk panggilan jiwa korsa. Fahmi menyebut jiwa korsa tak boleh jadi alasan untuk melakukan perbuatan yang jelas-jelas memberi contoh tidak baik bagi masyarakat luas. 

Seperti diketahui, RM sempat melontarkan pernyataan kepada wartawan bahwa Novel adalah pengkhianat. Lantas, sejumlah pengamat menilai pernyataan RM itu dilatarbelakangi semangat Korsa Polri.
 
“Tentu saja implementasi yang benar dari jiwa korsa tak seperti itu," ucap dia kepada wartawan, Kamis 2 Januari 2020.

Khairul berpendapat sebenarnya tidak ada yang salah dari semangat korsa. Masalahnya adalah penerapan yang membabi-buta. Sebab itu, kata dia, jiwa korsa kemudian ditangkap semata-mata soal keseragaman, kekompakan dan solidaritas tanpa melihat, apalagi menelaah kondisi obyektif secara kritis.

Apalagi, lanjut dia jika korbannya dianggap sebagai bagian dari dirinya. Maka, cap pengkhianat langsung melekat, tanpa melihat duduk perkara terlebih dulu.

“Pokoknya hantam dulu, sikat dulu. Apalagi ketika ada keyakinan bahwa kehormatan korps telah tercoreng, lembaga telah dipermalukan. Dan pembalasan atau penghukuman dianggap layak dan setimpal dilakukan pada siapapun yang telah mempermalukan, menghina apalagi mengkhianati,” katanya.

Lebih lanjut dirinya mengatakan, jiwa korsa selalu jadi klaim dan pembenaran ketika suatu peristiwa, entah itu bentrok antarsatuan, antarinstitusi, atau bahkan kekerasan yang melibatkan personel-personel satuan tertentu terhadap pihak di luar kesatuannya atau bahkan masyarakat umum. 

Jiwa korsa selama ini diidentikan dengan praktik-praktik buruk dan negatif yang menyangkut kekerasan kolektif oleh personel lembaga tertentu. Padahal, doktrin korsa sejatinya ditanamkan guna membangun kekompakan dan kerja sama tim dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. 

Untuk itu, Khairul menyarankan penanaman doktrin soal disiplin, loyalitas dan kehormatan, mestinya dibarengi dengan pengembangan budaya malu. Seperti malu tidak disiplin, malu melanggar aturan, dan malu bertindak tidak terhormat.

“Tentunya jangankan perbuatan yang jelas tindak pidana seperti penyiraman air keras ini, jiwa korsa mestinya bahkan tak membuat pelanggaran disiplin atas nama solidaritas dan kekompakan dapat ditolerir," ujar dia lagi. (asp)