Mengaku karena Rasa Sayang, Ibu Bunuh Anak Disabel

Huang menangis di pengadilan Guangzhou, China.
Sumber :
  • Shanghaiist

VIVA – Ruang pengadilan Guangzhou, China, mendadak hening. Suasana berubah menjadi haru, ketika Huang, seorang ibu berusia 83 tahun menyampaikan permohonan maaf. karena telah membunuh anaknya, seorang penyandang disabilitas. Ia menyampaikan maaf sambil menangis.

Kepada hakim, Huang mengaku bahwa pada 9 Mei lalu, ia memberikan sekitar 60 pil tidur kepada anak laki-lakinya yang berusia 46 tahun. Ia juga menyumbat lobang hidung anaknya dan mencekik lehernya menggunakan syal. Ia lakukan semua itu hingga anaknya berhenti bernapas. Sehari kemudian, ia menyerahkan diri ke kantor polisi.

Di pengadilan, dia menjelaskan alasannya mengapa ia membunuh anaknya. "Saya semakin tua dan lemah. Saya khawatir, saya akan mati lebih dulu, dan tak akan ada yang merawatnya," ujar Huang.

"Saya berpikir keras selama seminggu, sebelum memutuskan memberinya obat tidur," tutur Huang, seperti dikutip dari Shanghaiist, Selasa 7 November 2017.

Ketika ditanya, mengapa tak meminta tolong pada keluarganya untuk merawat anaknya, Huang menjawab, ia tak ingin membebani keluarganya, atau orang lain. "Saya adalah orang yang melahirkannya dan membuatnya menderita," ujarnya. "Lebih baik saya membunuhnya, daripada meninggalkannya pada orang lain," ujarnya menambahkan.

Ia melanjutkan, mengakhiri hidup anak laki-lakinya itu jauh lebih baik dari pada membuatnya menderita lebih lama. "Ia adalah anak saya, dan saya tak pernah membenci, atau memusuhinya. Saya sama sekali tak pernah menyerah untuk merawatnya selama ini. Tetapi, dua tahun terakhir kondisi kesehatan saya memburuk dan saya terus melemah," kata Huang sambil menyeka air matanya.

Anak laki-laki Huang terlahir prematur dengan kondisi fisik dan mental yang tidak normal. Kondisi itu membuatnya tak bisa berjalan, berbicara, bahkan hidup mandiri. Selama bertahun-tahun, kerusakan otot terus terjadi dan kondisinya semakin memburuk, yang artinya Huang harus terus menghabiskan lebih banyak waktu untuk merawatnya.

Teman-teman Huang sempat memintanya menyerahkan perawatan anak laki-lakinya itu ke panti tunaganda, namun Huang menolaknya. Menurut Huang, tak akan ada yang mampu merawat anak laki-lakinya sebaik ia merawatnya. Ketika berusia 47 tahun, Huang mengajukan pensiun dini, agar bisa menghabiskan lebih banyak waktu untuk merawat anaknya.

Di pengadilan, tindakan Huang mendapat pembelaan dari anak-anaknya yang lain. Mereka menjelaskan, setelah 46 tahun berjuang sendiri, Huang merasa tertekan untuk membuat keputusan luar biasa berat itu dengan mengakhiri hidup anaknya sendiri.

"Apa yang dilakukan ibu saya bukanlah kejahatan," ujar anak pertama Huang. "Ia hanya ingin mengakhiri penderitaan adik kami. Dalam hatinya, ia tak mungkin memiliki keinginan menyakitinya," ujarnya menambahkan.

Pengadilan lalu memutuskan Huang dijatuhi hukuman penjara selama tiga tahun. Hakim menjelaskan, meski pun melanggar hukum, Huang berhak mendapatkan ampunan.

"Pembunuhan ini jauh dari kebencian, pembunuhan ini lebih kuat didasari kasih sayang. Bagaimana pun, hak seseorang untuk hidup adalah hak lebih penting dari yang lain. Tak ada seorang pun yang berhak menghalangi seseorang untuk tetap hidup, termasuk orangtuanya," kata Hakim menjelaskan.