Kemlu RI Siap Bantu WNI Bermasalah yang Dideportasi AS

WNI yang akan dideportasi dari AS
Sumber :
  • REUTERS/Brian Snyder

VIVA – Pemerintah Indonesia masih berusaha mendapatkan data sahih soal jumlah warga negara Indonesia yang sudah tercatat masuk dalam deportation order atau perintah deportasi pemerintah AS. Seperti diketahui sejak menjabat sebagai presiden, Donald Trump berjanji akan “membersihkan” Amerika dari imigran ilegal.

"Kita tahu ada puluhan (jumlahnya) tapi saya belum bisa sebut angka karena masih kami dalami. Data dan info yang kita miliki berbeda. Ada 50 negara bagian dan masih didata," kata Jubir Kemlu, Arrmanatha Nasir di Jakarta Pusat, Rabu, 18 Agustus 2017.

Diberitakan sebelumnya oleh kantor berita Reuters, dua WNI, Meldy dan Eva Lumangkun dan anak-anaknya telah hampir dua dekade tinggal di New Hampshire, Amerika Serikat, setelah lari dari kerusuhan 1998 di Indonesia.

Status mereka yang tinggal secara ilegal telah lama ditolerir oleh Imigrasi Amerika Serikat. Namun di bawah pemerintahan Trump, mereka diharuskan kembali ke Indonesia dan harus keluar dari AS dalam waktu dua bulan.

"Kami takut pulang. Kami takut akan keselamatan anak-anak kami. Di sini, anak-anak kami bisa hidup dengan aman," kata Meldy.

Arrmanatha mengatakan, terkait hal ini, pemerintah Indonesia terus mengikuti perkembangan proses menyangkut kasus beberapa WNI yang sudah masuk data deportation order.

"Sejak ada peraturan AS border dan deportasi warga overstayer, kita sudah sampaikan beberapa kali sosialisasi. Kita juga sudah hire pengacara agar mereka bisa meminta konseling mengenai langkah hukum mereka," ujarnya.

Selain itu ia juga menegaskan, apabila ada WNI yang meminta bantuan dalam konteks travel document dan fasilitas, pemerintah akan siap membantu.

Lumangkun merupakan warga Indonesia yang berada di New Hampshire bersama dengan sejumlah WNI lainnya. Dia mengatakan masih takut akan diskriminasi dan kekerasan agama jika mereka kembali ke Indonesia.

Keluarga Lumangkun termasuk di antara sekitar 2.000 orang Tionghoa yang melarikan diri ke AS untuk menghindari kerusuhan ekonomi terbesar di Asia Tenggara yang berujung kerusuhan dan menewaskan sekitar 1.000 orang pada tahun 1998 pada puncak krisis keuangan Asia termasuk di Indonesia.