Myanmar Bantah Halangi Bantuan Kemanusiaan untuk Rohingya
- REUTERS/Danish Siddiqui
VIVA.co.id – Pemerintah Myanmar bersikeras membantah bahwa mereka menghalangi pemberian bantuan dari pekerja kemanusiaan ke negara bagian Rakhine, yang mayoritas dihuni warga Rohingya. Myanmar mengaku saat ini mendahulukan isu keamanan.
"Kami tak menghalangi siapa pun," ujar Zaw Htay, juru bicara pemerintah Myanmar kepada Reuters, 15 September 2017. "Kami tak menghalangi organisasi apa pun untuk mengirimkan bantuan ke area tersebut.. Namun mereka bisa saja menemui hambatan yang sulit ketika berusaha menembus akses yang dihalangi oleh pemerintah lokal untuk alasan keamanan," ujar Htay.
Penyerbuan yang dilakukan oleh militer kepada etnis Rohingya di Rakhine, Myanmar terjadi setelah sejumlah militan dari kelompok Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) lebih dulu menyerang pos keamanan di perbatasan.
Kekerasan militer ini memunculkan pertanyaan, bagaimana proses transisi dari militer ke sipil di Myanmar, negara dengan penduduk mayoritas Budha, di bawah transisi ke pemerintahan sipil di bawah kepemimpinan penerima Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi. Walau bukan menjabat presiden, dan hanya berposisi Konselor Negara, Suu Kyi dipandang memiliki pengaruh yang besar bagi pemerintah Myanmar saat ini.
Militer masih memegang kendali keamanan di negara Myanmar. Sementara Aung San Suu Kyi terus menerima kritik keras dari berbagai negara karena tak mengutuk aksi kekerasan tersebut. Di negara tersebut, isu yang beredar adalah pemerintah sedang berperang melawan pemberontak Muslim.
Pemimpin Senat AS, Mitch McConnell, pada Kamis 14 September 2017, mengaku telah berbicara dengan Suu Kyi lewat telepon. Penerima Nobel Perdamaian itu mengaku terus bekerja agar area yang terdampak kekerasan bisa dimasuki oleh pekerja kemanusiaan.
Menteri Sosial, Bantuan, dan Pembangunan kembali Myanmar, Win Myat Aye, mengungkapkan saat ini tak ada kelompok pemberi bantuan independen yang bisa memasuki area konflik tersebut. Namun, itu terjadi bukan karena mereka dihalangi.
Pada Rabu, 13 September 2017, Sekjen PBB menyatakan kasus Rohingya sebagai sebuah pembersihan etnis. Hari ini, Jumat 15 September 2017, kelompok pemantau HAM Amnesty International mengungkapkan sudah ada bukti bahwa apa yang dilakukan oleh militer Myanmar adalah upaya untuk membumi-hanguskan wilayah tersebut dari Muslim Rohingya. (ren)