Tiga Tahun Dilanda Perang, Anak-anak Irak Kembali Sekolah

Anak-anak Irak kembali ke sekolah.
Sumber :
  • Reuters

VIVA.co.id – Serangan besar kelompok militan ISIS di Irak pada tahun 2014 berhasil menguasai kota Mosul. Namun, di kota ini ISIS tak menghancurkan sekolah, meski mereka menghancurkan gedung-gedung lainnya. Kelompok garis keras itu bahkan meminta agar para siswa tetap sekolah. Tapi sejumlah besar orang tua menolak mengirimkan anak mereka. Para orang tua khawatir anak-anak akan dicekoki oleh ajaran-ajaran radikal seperti yang ditampakkan oleh ISIS.

"Mereka buruk. Mereka pernah mengajari kami tentang jihad, dan bagaimana berperang," ujar Manar Mahmoud, seorang anak berusia 13 tahun.

Minimnya jumlah siswa membuat kelompok ISIS menyerang. Mereka akhirnya menutup sekolah. Mereka membongkar perpustakaan dan ruang guru, dan menyensor banyak buku yang isinya tak sesuai dengan misi mereka. Tapi satu ruangan yang penuh dengan buku-buku berbahasa Arab berhasil selamat. Kelompok tersebut gagal membuka kunci ruangan itu, meski pernah mencoba menembak kuncinya.

Meski suara pertempuran masih terdengar, tapi niat gadis-gadis kecil ini tak surut untuk tetap mendatangi sekolah khusus perempuan di sebuah kota tua, sebelah barat Mosul. "Saya ingin sekolah, saya tak ingin jadi orang yang tak memiliki pengetahuan," ujar Manar, seperti diberitakan oleh Arab News, 22 April 2017.

"Saya sangat senang. Lebih baik bisa pergi ke sekolah dari pada hanya diam saja di rumah," celoteh Sara Umar, yang baru berusia delapan tahun.

Direktur Sekolah mengaku kini agak kesulitan karena mereka untuk sementara seluruh siswa digabungkan dalam satu ruangan. "Tantangan berat karena kami harus menempatkan 150 anak dalam satu ruangan, padahal usia mereka berbeda-beda," ujarnya. "Kami menunggu petunjuk dari Kementerian Pendidikan, namun hingga sekarang tak ada satu pun yang datang mengunjungi," ujarnya menambahkan.

Direktur dan para guru yang mengajar mengaku masih tak tahu bagaimana menghadapi masa depan, juga menghadapi anak-anak itu. Situasi perang yang belum selesai, dan sarana yang buruk masih membayangi mereka. "Seluruh guru bekerja tanpa dibayar, karena pemerintah belum membayar gaji mereka," ujar seorang guru. "Sekolah terus berjalan tanpa air dan listrik. Atas kehendakNya, kami akan terus menolong anak-anak ini dan siswa kami agar bia melupakan penderitaan yang telah mereka alami," ujarnya.