Penuhi Kriteria Ini, Tenaga Medis RI Bisa Kerja di Jepang

Ilustrasi perawat.
Sumber :

VIVA.co.id – Deputi Penempatan Badan Nasional dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, Agusdin Subiantoro mengatakan, tenaga kesehatan Indonesia memiliki potensi tinggi untuk bekerja di Jepang, terlebih jika mereka adalah perawat dan care-giver.

Dilihat dari segi usia, rata-rata umur mereka adalah 21-36 tahun. Pendidikan mereka pun minimal harus D3 atau S1 Keperawatan, untuk care-giver. Sedangkan untuk perawat minimal S1.

"Sebelum diberangkatkan ke Jepang, mereka akan melakukan tes keperawatan, untuk seleksi. Kemudian ada tes kesehatan dan tes psikologi. Apabila lulus di poin-poin tadi maka mereka bisa dinyatakan sebagai kandidat," ujar Agus kepada VIVA.co.id, di Jakarta, Rabu, 22 Februari 2017.

Selain itu, kata Agus, calon perawat dan care-giver rumah sakit Jepang ini akan mendapatkan pelatihan bahasa Jepang selama enam bulan. Pelatihan dilakukan di Indonesia untuk mendapatkan sertifikasi dan pernyataan lulus tes. Jika mereka lulus ujian bahasa, maka mereka boleh diberangkatkan ke Jepang.

"Kalau mereka lulus N4, berangkat ke Jepang. Sampai sana mereka harus diuji lagi. Pelatihan bahasa Jepang lagi selama enam bulan, jadi minimal mereka harus dapat N3 di sana. Bukan hanya bahasa saja, mereka harus mempelajari etos kerja dan budaya Jepang," ucapnya.

Tingkatan N ini adalah standar kelulusan pelatihan bahasa Jepang bagi para pekerja asing. Nilai terendah ialah N7 dan tertinggi adalah N1. Agus mengungkapkan saat ini penguasaan bahasa Jepang oleh TKI masih berada di tengah-tengah, yaitu N4 dan N3.

Mereka kemudian akan menjalani kontrak kerja pertama selama tiga tahun untuk perawat dan empat tahun untuk care-giver.

"Tetapi kalau mereka lulus ujian nasional bagi tenaga kesehatan Jepang, mereka boleh bekerja dan tinggal di sana sesuka hati mereka. Sampai bosan. Selamanya juga boleh, bahkan mereka diizinkan membawa serta keluarga. Gaji pun besar, rata-rata Rp14 juta-Rp20 juta per bulan," katanya menambahkan.

Kisah para perawat

Di sisi lain, seorang mantan perawat yang enggan disebutkan namanya ini mempunyai pengalaman buruk lantaran kurang persiapan. Wanita berusia 30 tahun ini mengikuti seleksi pada 2008.

Dia ditempatkan pada sebuah rumah sakit swasta Jepang dan menjadi salah satu dari 104 calon perawat Indonesia yang diberangkatkan. Saat itu, dia mengaku tidak diberikan pelatihan bahasa Jepang secara total sehingga dia dan beberapa calon perawat kesulitan selama bekerja.

"Awal berangkat, kami senang dan tidak ada gambaran negatif di Jepang. Begitu sampai sana, beberapa dari kami menemui kendala bahasa. Angkatan pertama nggak ada pelatihan di Indonesia, kami langsung diterbangkan ke Jepang. Kami sempat stres menghadapi lingkungan baru," kata wanita berinisial Mel ini kepada VIVA.co.id.

Dia menjadi perawat selama tiga tahun di Jepang. Sementara itu Jeriana Pardede, lulusan angkatan kedua tahun 2009, menuturkan ia mendapatkan banyak pelajaran ketika merawat pasien di Jepang, di antaranya disiplin tinggi, hidup teratur, dan budaya antre.

"Kami sudah diberikan pelatihan matang dari pemerintah Indonesia, tesnya sulit sekali dan sangat ketat. Belajar bahasa Jepang pun harus kami lakoni selama 6 bulan di mana 4 bulan di Bandung dan 2 bulan di Jepang," kata perawat yang kini bekerja di sebuah klinik milik Jepang di Jakarta.

Jeriana kembali ke Indonesia pada 2016 dan telah bekerja di rumah sakit Saiseikai Yokohamashi Tobu selama tujuh tahun.