Marak Perceraian, di China Orangtua Bisa 'Rampas' Anak

Dai Xiaolei dengan foto anak laki-lakinya, Tristan.
Sumber :
  • REUTERS/Thomas Peter

VIVA.co.id – Dai Xiaolei masih teringat, terakhir kali melihat anak laki-laki semata wayangnya bernama Tristan pada 31 Januari 2014. Kala itu, sang bocah masih berusia 17 bulan dan tinggal bersama mertuanya di sebuah apartemen sebelah barat daya Beijing, China.

Kegagalannya dalam berumah tangga, serta memburuknya hubungan Dai dengan suami, Liu Jie dan keluarganya, membuat dia semakin sulit untuk bertemu buah hatinya.

"Terakhir kali, saya melihat Tristan di ujung jalan ini. Keluarga mantan suami, selalu mencegah saya untuk bertemu dengan anak saya. Saya seperti berhadapan dengan benteng," kata Dai, seperti dilansir situs Reuters, Selasa malam, 3 Januari 2017.

Jie diketahui mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan China, karena merasa tak lagi sejalan dengan istrinya. Ketika masih berkeluarga, keduanya kerap bertengkar perihal perbedaan karakter, pendapat, serta kebiasan hidup.

Dai pun mengajukan permohonan hak asuh atas anaknya. Namun, pada April 2016, hakim memutuskan keduanya bercerai dan hak asuh Tristan jatuh ke tangan Jie. Keputusan tersebut, atas pertimbangan pertumbuhan fisik dan mental yang sehat.

Dai, lalu mengajukan banding atas putusan hakim untuk terus memperjuangkan mendapatkan hak asuh anak. Dalam penolakannya yang dikeluarkan pada 30 November lalu, pengadilan mengatakan, lingkungan hidup sang anak bersama ayahnya relatif stabil dan setiap perubahan akan berdampak pada kondisi anak tersebut.

Perceraian seperti menjadi tren di China saat ini. Hal itu, lantaran meningkatnya angka perceraian hampir tiga kali lipat sejak 2002 silam, tepatnya 2,8 perceraian per 1.000 orang di 2015.

Jumlah ini lebih tinggi dari perkiraan resmi terbaru oleh Uni Eropa, yang mencapai 2,1 perceraian per 1.000 orang pada 2011. Karena itu, muncul permintaan kepada pengacara perceraian untuk membuat sebuah aplikasi mengenai hukum kekerasan dalam rumah tangga.

Langkanya hak asuh bersama

Tujuannya untuk menekan taktik agresif yang digunakan oleh beberapa orangtua untuk mengambil dan mempertahankan hak asuh anak dan memenangkan 'pertempuran' atas hak asuh.

Pengacara menilai, hakim cenderung mendukung orangtua yang memiliki hubungan secara fisik dengan anak, menargetkan sejumlah uang bagi seorang ayah, atau ibu untuk membawa anak mereka, dan mendapatkan keuntungan di pengadilan.

Saat ini, tidak ada hukum yang melarang salah satu orangtua mengambil hak asuh anak. Ini mencerminkan pandangan bahwa konflik antaranggota keluarga dianggap sebagai urusan pribadi.

Meski tak ada data resmi, Yan Juni, seorang hakim di Pengadilan Haidian, memperkirakan anak-anak yang diambil paksa dari pasangan mencapai 60 persen.

"Data memperlihatkan bahwa kasus perceraian, di mana suami dan istri saling berebut hak asuh bukanlah minoritas. Di bawah hukum China, orangtua jarang diberikan hak asuh bersama secara hukum, seperti halnya terjadi di beberapa negara," kata Yan.

Perampasan anak, kerap terjadi, bahkan sebelum perceraian dimulai di persidangan, di mana orangtua mengklaim memiliki lingkungan yang lebih stabil untuk merawat anak mereka.

Li Ying, seorang pengacara di Beijing mengatakan, taktik perampasan anak secara agresif harus dituntut di bawah hukum kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang telah diberlakukan di China sejak Maret 2016.

Di bawah UU disebutkan bahwa pemukulan, pelecehan verbal, dan perilaku mengancam dapat dianggap sebagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga. (asp)