Obama Desak Israel Akhiri Pendudukan di Tanah Palestina

Pertemuan Presiden AS, Barack Obama, dan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, di Gedung Putih, beberapa tahun silam. Hubungan kedua pemimpin itu dikenal kurang harmonis meski AS dan Israel dikenal bersekutu erat sejak lama.
Sumber :
  • REUTERS/Jason Reed

VIVA.co.id – Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, mendesak Israel untuk mengakhiri pendudukan permanen di tanah Palestina. Sedangkan Palestina diminta Obama menerima Israel sebagai negara berdaulat.

"Saya kira keduanya akan mendapat keuntungan jika saling menghargai. Israel angkat kaki dari tanah Palestina secara permanen. Lalu, Palestina legowo menerima legitimasi Israel," kata Obama dalam pidato di Majelis Umum Perserikatan Bangsa, seperti dikutip Reuters, Rabu 21 September 2016.

Upaya Obama untuk mewujudkan perjanjian perdamaian Israel-Palestina mengalami kegagalan selama dua periode (delapan tahun) masa kepemimpinannya di Gedung Putih.

Usaha terakhir diprakarsai oleh Menteri Luar Negeri John Kerry pada 2014. Namun, lagi-lagi usaha tersebut mengalami kegagalan. Obama sendiri akan meninggalkan Gedung Putih pada Januari 2017.

Tak bisa dipungkiri, AS sangat perlu Israel untuk tetap menanamkan pengaruhnya di Timur Tengah, khususnya atas kekayaan sumber daya alam (SDA).

Maka, tidaklah mengherankan mengapa Israel menerima puluhan miliar dolar dari AS setiap tahunnya, yang sebagian besar digunakan untuk membangun persenjataan militer.

Pemerintah Amerika Serikat dan Israel sedang menjalani pembicaraan tahap akhir soal pengiriman bantuan militer dari AS untuk Israel. Nilai bantuan diperkirakan mencapai US$38 miliar dan akan diberikan selama sepuluh tahun.

Jika perjanjian ini disepakati, maka angka ini akan menjadi bantuan militer AS yang terbesar yang pernah diberikan. Namun Amerika meminta Israel membuat sejumlah konsesi agar bantuan tersebut bisa segera disetujui.

Perjanjian ini akan menggantikan paket 10 tahunan sebelumnya yang akan berakhir pada 2018. Setelah 10 bulan perundingan, perjanjian itu akan ditandatangani pada Rabu, 14 September 2016.

Bantuan yang akan diberikan antara lain berupa dana US$500 juta per tahun untuk program pertahanan rudal. "Ini merupakan kesepakatan terbesar tentang bantuan militer bilateral dalam sejarah AS," kata Departemen Luar Negeri AS.

(ren)