Ketika Mahathir Mohamad 'Rujuk' dengan Anwar Ibrahim
- REUTERS/Olivia Harris
VIVA.co.id – Politik itu sama seperti lidah yang tak bertulang, di mana ucapannya sering tak bisa dipegang. Itulah yang dihadapi mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad.
Berdalih pernyataan sikap bersama terhadap pemerintahan PM Najib Tun Abdul Razak, Dr. M, julukan Mahathir, menggandeng mantan 'anak asuhnya', Anwar Ibrahim.
Melansir situs Malaysiakini, Senin, 19 September 2016, kedua politikus senior tersebut tiba-tiba mengutuk Undang-Undang Keamanan Nasional (National Security Act). Mereka mengklaim undang-undang yang diberlakukan oleh pemerintahan Najib Razak ini mengancam sistem demokrasi.
"Kami telah mengamati bahwa hampir semua lembaga utama seperti lembaga kepolisian, komisi pemberantasan korupsi, kejaksaan agung serta bank sentral telah dikendalikan oleh dia (Najib)," bunyi pernyataan singkat keduanya.
Terlepas dari hal ini, baik Mahathir maupun Anwar, mengatakan bahwa dalam UU tersebut juga meniadakan hak, baik pejabat atau masyarakat, untuk memeriksa kembali jenazah (post-mortem) untuk mengetahui penyebab kematian.
Tak hanya itu, mereka menuding bahwa UU ini juga menghilangkan peran serta kekuasaan Yang Dipertuan Agung sebagai simbol negara, dan konferensi kekuasaan terhadap isu-isu keamanan dan kebebasan rakyat.
"Malaysia mengalami krisis nasional. Karena itu, kita bersama-sama menentang UU ini dan ingin membawa perubahan serta reformasi untuk menyelamatkan hak dan kebebasan rakyat," ungkapnya.
Seperti diketahui, 18 tahun lamanya perseteruan terjadi di antara mereka. Berawal dari pemecatan Anwar sebagai Wakil Perdana Menteri Malaysia pada 1998 silam.
Beragam hinaan dan tuduhan dialamatkan ke Anwar. Mulai dari isu prilaku tak bermoral (sodomi) hingga korupsi.
Akan tetapi, masalah itu seperti menguap begitu saja lantaran pada awal September ini keduanya resmi saling berjabat tangan alias damai di Pengadilan Malaysia.
UU Keamanan Nasional sendiri menuai kritik karena merupakan di dalamnya memberikan hak kompensasi besar bagi perdana menteri sebagai kepala pemerintahan.