Parlemen Filipina Kritik Deklarasi Presiden Duterte

Presiden Filipina Rodrigo Duterte.
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Pernyataan Presiden Filipina Rodrigo Roa Duterte atas aksi pengeboman di kota Davao City, Filipina Selatan yang menewaskan 14 orang, pada Jumat malam, yang berujung deklarasi "state of lawlessness" (negara tanpa hukum), dikritik Parlemen Filipina.

Mereka lalu meminta klarifikasi Duterte terkait deklarasi tersebut. Deklarasi ini akan memberikan lebih banyak kekuatan untuk menyatakan pasukan keamanan untuk berangkat "perang'' setelah ada ancaman di dalam negeri.

Presiden Senat Franklin Drilon mengungkapkan, ia akan menangguhkan keputusan Presiden untuk memiliki akses ke informasi intelijen.

"Duterte harus berhati-hati dalam mengeluarkan deklarasi karena efeknya akan berdampak besar terhadap perekonomian kita, khususnya investasi, iklim usaha dan pariwisata," kata Drilon, seperti dikutip situs Inquirer, Minggu, 4 September 2016.

Sementara, Senator Grace Poe berharap bahwa pengumuman deklarasi ini tidak keluar dari niat pemerintah untuk mengatasi ancaman.

"Saya berharap bahwa deklarasi memang fokus untuk mengatasi ancaman bangsa. Bagaimana pun kita harus tetap waspada dan mendesak pemerintah untuk menjaga masyarakat dari serangan berikutnya," katanya.

Senator Antonio Trillanes IV, yang juga mantan tentara, mengatakan bahwa deklarasi tersebut tidak seharusnya dilakukan sama sekali.

"Serangan teroris di Davao adalah pengingat suram bahwa masalah narkoba bukanlah yang terbesar, dan pasti bukan satu-satunya ancaman keamanan nasional. Deklarasi itu belumlah tepat diterapkan saat ini. Apa yang dibutuhkan adalah koordinasi dan menuntut kerja intelijen agar lebih serius," tutur Trillanes IV.

Meski begitu, sejumlah anggota senat ini berupaya menggalang dukungan dari DPR maupun Senat sendiri, untuk menyokong kerja Duterte dalam memberantas Abu Sayyaf dan narkoba.

"Kita harus selalu mendukung Presiden dalam perjuangannya melawan kriminalitas dan terorisme," ujarnya.

Ledakan di Davao City tersebut terjadi setelah Pemerintah Filipina menyatakan akan lebih keras mengoperasikan pembasmian kelompok Abu Sayyaf di Sulu, Filipina Selatan.

Meskipun Davao terbilang wilayah yang cukup aman, namun Davao berada di Filipina Selatan yang dilanda kemiskinan dan wilayah terjadinya pemberontakan minoritas Muslim.