Tak Hanya ISIS yang Pakai Remaja sebagai Bom Bunuh Diri
- Reuters/Joe Penney
VIVA.co.id – Terkuaknya pelaku bunuh diri di tengah pesta pernikahan Kurdi luar ruangan di Gaziantep, Turki tenggara, menewaskan sedikitnya 51 orang dan melukai 69 lainnya, membuat kita bergidik.
Sebab, pelakunya adalah anak remaja didikan ISIS yang berusia 12-14 tahun. Kelompok ekstrimis itu memiliki sejarah menggunakan anak-anak remaja sebagai "senjata".
Mereka mengirim para remaja tak berdosa itu ke "lubang kematian" melalui mereka dengan mengikatkan bahan peledak di pinggang atau tubuh, serta menempatkan mereka di garis depan di Irak dan Suriah.
Fakta ini merupakan langkah terbaru yang belakangan gencar oleh ISIS yang ditujukan untuk mengindoktrinasi anak-anak di Irak dan Suriah.
Mereka juga mempertahankan tentara anak atau yang dijuluki "Anak Khalifah" yang tengah mengikuti latihan-latihan kekerasan, bahkan diperintahkan untuk melaksanakan eksekusi brutal, seperti pemenggalan dan penembakan.
Meski begitu, praktik ini tidak terbatas pada ISIS, namun sudah digunakan oleh kelompok militan lainnya.
Melansir situs Alarabiya, Senin, 22 Agustus 2016, berikut kelompok yang memanfaatkan anak-anak untuk melakukan aksi tak bermoral itu.
Boko Haram
Kelompok Hak Asasi Manusia (Human Rights Watch) dan UNICEF melaporkan bahwa kelompok Boko Haram meningkatkan jumlah tentara anak-anak sebagai pelaku bom bunuh diri.
Dalam laporannya pada awal tahun ini, UNICEF mengatakan satu dari lima serangan bunuh diri yang diklaim oleh kelompok militan di Nigeria, Kamerun dan Chad, dilakukan oleh anak-anak.
Di Nigeria, Human Rights Watch menjelaskan, sejak Boko Haram memulai serangan pada 2009, di saat yang bersamaan pula mereka merekrut ratusan, dan mungkin ribuan, anak-anak yang sebagian besar perempuan, sebagai pelaku bom bunuh diri.
Al Qaeda
Jaringan teroris global memiliki sejarah merekrut anak-anak dan melatih mereka untuk menjadi pembom bunuh diri.
Pemimpin Al Qaeda di Irak, Abu Musab al-Zarqawi, memafaatkan remaja sebagai pelaku bom bunuh diri untuk melawan pendudukan Amerika Serikat di Irak, sebelum ia tewas dalam serangan udara AS pada 2006.
Eksistensi Al-Qaeda di Irak lalu "digantikan" oleh kelompok ISIS.
ISIS
Kelompok ini telah dikerahkan pelaku bom bunuh diri anak untuk melancarkan serangan di Irak dan Suriah. Di antara serangan paling mematikan adalah serangan bom di sebuah pertandingan sepak bola pemuda di stadion selatan Baghdad pada 25 Maret 2016.
Pelaku pemboman, diyakini seorang remaja berusia 16 tahun, meledakkan dirinya sebagai pejabat bagikan piala untuk pemain setelah turnamen, membunuh 29 orang dan melukai 60 orang lainnya.
Hampir setengah dari mereka yang tewas juga anak-anak, di mana mereka berpartisipasi dalam pertandingan sepak bola dan bersorak-sorai dari tribun penonton.
ISIS mengaku bertanggungjawab atas aksi tak manusiawi tersebut. Badan PBB yang mengurusi anak-anak, UNICEF, mengatakan dalam sebuah laporan baru-baru ini bahwa ribuan anak-anak telah diculik di Irak.
Anak perempuan berada pada risiko terbesar untuk dijual dan dijadikan budak seksual. Sementara anak laki-laki sering dipaksa untuk menjadi pejuang atau pelaku bom bunuh diri.
Kelompok Radikal Palestina
Hamas, Jihad Islam dan kelompok militan lainnya menjalankan kamp musim panas yang berusaha untuk mengindoktrinasi anak-anak Palestina dengan ideologi anti-Israel soal kekerasan.
Kelompok-kelompok ini belum mengirim anak-anak pada misi bunuh diri, meskipun selama pemberontakan Palestina kedua di awal 2000-an, beberapa orang Palestina yang rerata berusia 16 tahun melakukan aksi bom bunuh diri.
Selama gelombang kekerasan terjadi, puluhan remaja Palestina telah melakukan, dan atau, dituduh melakukan serangan mematikan di Israel. Termuda berusia 11 tahun.
Meski begitu, para penyerang ini diyakini telah bertindak secara individual dan tidak dikirim oleh kelompok terorganisir.
Yaman
Di sana, anak laki-laki diajarkan bagaimana menggunakan senjata sejak usia dini. Yaman diketahui sebagai "rumah" bagi penduduk sipil bersenjata di dunia.
Yaman saat ini merupakan negara berkonflik. Baik pasukan pemerintah maupun pemberontak, keduanya telah melibatkan remaja menjadi bagian dari organisasi mereka.