Pelecehan Seksual Bayangi Anak Pengungsi di Australia
- VIVAnews/Joseph Angkasa
VIVA.co.id - Lebih dari 2.000 insiden pelecehan seksual, penyerangan dan upaya menyakiti diri terjadi dalam dua tahun terakhir di Pusat Detensi Pencari Suaka Nauru, Australia. Setengah dari kasus ini melibatkan anak di bawah umur.
Menurut Reuters, Rabu, 10 Agustus 2016, bocoran dokumen yang dikeluarkan oleh Guardian Australia menunjukkan, tingginya tingkat kekerasan di pusat penampungan migran, dan kurangnya bantuan medis serta psikologis bagi migran dan pencari suaka.
Ketatnya peraturan serta kebijakan imigrasi "garis keras" Australia terhadap kedatangan kapal ilegal, menuai banyak kritik dari PBB dan kelompok HAM internasional. Di bawah kebijakan Australia, para pencari suaka yang tertangkap, dicegat di laut dan dikirim ke beberapa pusat detensi, seperti di Nauru, Pulau Manus dan Papua Nugini. Pengungsi diberitahu bahwa mereka tidak akan bisa menetap di Australia.
Menanggapi kebocoran dokumen ini, Kepolisian Nauru menyatakan tengah berupaya untuk mengonfirmasi laporan yang ada. Juru Bicara Departemen Imigrasi Australia juga menegaskan bahwa tuduhan tersebut tidak benar.
Laporan yang diterbitkan oleh Guardian Australia tersebut mencakup periode antara Agustus 2013 sampai Oktober 2015. Dari 500 anak yang ditampung di pusat detensi, dugaan pelecehan diduga dilakukan oleh pihak penjaga, bahkan orang tak dikenal.
Pihak advokasi pengungsi mengatakan, laporan kebocoran tersebut menunjukkan kebutuhan mendesak untuk mengakhiri kebijakan penahanan di lepas pantai Australia, dan para pencari suaka harus diberikan dukungan medis dan psikologis.
"Melalui bukti dokumen dan penelitian kami sendiri sangat jelas bahwa banyak anak di pusat penampungan suaka yang terjerumus dalam jurang kerusakan fisik dan mental, dengan adanya perlakuan buruk terhadap mereka di Nauru," ujar Anna Neistat, Direktur Senior untuk penelitian di Amnesty Internasional.
(mus)