Putusan Arbitrase, Filipina Semringah China Meradang

Scarborough Shoal yang diperebutkan China dan Filipina.
Sumber :
  • http://www.aseanmildef.com

VIVA.co.id – Filipina dan China memberi tanggapan berbeda mengenai putusan Pengadilan Arbitrase Internasional di Den Haag, Belanda, Selasa kemarin.

Presiden China Xi Jinping secara tegas menolak putusan arbitrase yang mengatakan klaim atas Laut China Selatan tidak memiliki dasar hukum.

"Kami tegaskan wilayah kedaulatan dan hak maritim China tidak akan terpengaruh oleh putusan (arbitrase) dengan cara apa pun," kata Xi, seperti dikutip dari situs BBC, Rabu, 13 Juli 2016.

Kendati demikian, Xi mengaku masih membuka jalan lain untuk menyelesaikan perselisihan sengketa dengan negara-negara yang juga mengklaim wilayah perairan dengan nilai ekonomi sebesar US$5 miliar per tahun.

"Kami masih membuka dialog bilateral dengan negara-negara sahabat," ungkapnya.

Pada kesempatan terpisah, Menteri Luar Negeri Filipina Perfecto Yasay Jr., menyambut baik hasil putusan yang dikeluarkan lembaga hukum internasional di bawah PBB itu.

"Filipina menegaskan komitmennya patuh terhadap upaya mengejar resolusi damai dan pengelolaan sengketa dengan pandangan mempromosikan dan meningkatkan perdamaian dan stabilitas di kawasan itu," kata Yasay, seperti dikutip dari situs Asian Correspondent.

Kronologi

Sebagaimana diketahui, pada Januari 2013, Filipina membawa kasus sengketa Laut China Selatan ke Permanent Court Arbitration (PCA) di Den Haag, Belanda untuk mendapatkan kembali hak mereka.

Setelah 3,5 tahun menunggu, maka pada Selasa, 12 Juli 2016, pengadilan mengeluarkan putusan yang mengatakan tidak adanya bukti hukum China memiliki hak bersejarah terhadap 9 Dashed Lines.

Tak hanya itu, China juga dituduh telah melanggar hak-hak kedaulatan Filipina dengan menggelar aktivitas di sana.

Kendati demikian, keputusan pengadilan itu sama sekali tak diterima negeri Tirai Bambu.

Melalui pernyataan resminya, pemerintah China menegaskan bahwa sejak 2000 tahun silam sudah ada kegiatan yang dilakukan warga China yang tinggal di wilayah sengketa.

Bahkan, mereka juga mengklaim sebagai negara pertama yang menemukan, memberi nama, serta mengeksplorasi wilayah jalur perdagangan padat tersebut.