Kisah Pilu Pengungsi Muslim Sambut Ramadan di Kamp Yunani
- Reuters/Umit Bektas
VIVA.co.id – Bagi 50 ribu pengungsi yang sebagian besar Muslim dan kini terperangkap di Yunani, Ramadan tahun ini pasti akan sangat berbeda.
Selain kondisi kamp pengungsi yang buruk, ketersediaan bahan pangan bagi mereka yang melaksanakan ibadah puasa juga sangat terbatas.
Bulan suci Ramadan di seluruh dunia pada umumnya menahan diri dari makan dan minum pada siang hari, dan baru berbuka puasa pada saat matahari terbenam. Namun, di Mediterania, khususnya Yunani, matahari terbit pada pukul 04.00 pagi waktu setempat dan baru terbenam pada pukul 21.00.
Ini artinya, para pengungsi di Yunani harus berpuasa selama 17 jam. Salah satunya Sara (17 tahun). Ia kabur dari Kabul, Afghanistan, bersama orang tua dan lima saudaranya, dan kini berada di kamp Elionas, dekat Athena.
"Di Afghanistan kami biasanya berbuka dengan Bolani (roti isi tomat dan kentang) ditambah dengan jus buah," kata Sara, bercerita seakan penuh kerinduan, dilansir dari situs Middle East Eye, Kamis, 9 Juni 2016.
"Tapi di sini kami harus makan-makanan yang mereka berikan kepada kami," lanjut Sara.
Keluarga Sara melarikan diri dari Afghanistan karena ayahnya diancam. Mereka telah tinggal di Yunani selama tiga bulan dan semakin frustrasi karena kurangnya informasi dan harapan hidup.
Keluarga Sara dan pengungsi lainnya tinggal di tenda milik Badan Pengungsi PBB (UNHCR) yang cukup panas dan berdesakan. Hanya beberapa tenda minoritas yang dilengkapi dengan pendingin udara.
Untuk makanan berbuka, mereka terkadang hanya diberikan pasta seadanya dan dihangatkan, atau spageti dengan sedikit protein dan beberapa sayuran.
Beberapa pengungsi bahkan hanya memperoleh air minum sebanyak 1,5 liter per hari.
"Meskipun dalam kondisi seperti ini, mungkin Ramadan akan membawa hal-hal yang lebih baik. Melalui cobaan ini kami akan lebih dekat dengan Tuhan dalam berbagai cara," kata Sara. (ase)