Dua Alutsista Ini Bakal Perkuat Militer Rusia
- www.youtube.com
VIVA.co.id – Di tengah ancaman Amerika Serikat dan NATO, Rusia harus bekerja keras melindungi kedaulatan dan wilayah yang menjadi pengaruhnya. Menjawab tantangan keamanan yang semakin kompleks, modernisasi militer adalah hal wajib dilakukan.
Untuk itu, negeri Beruang Putih kini tengah mempersiapkan dua alat utama sistem persenjataan (alutsista), yaitu senapan serbu berkode Tokar-2 dan stasiun radar deteksi dini, Dnepr.
Mengutip situs Sputniknews, Selasa, 17 Mei 2016, sebuah lembaga penelitian dan pengembangan yang berafiliasi dengan Kementerian Dalam Negeri Rusia telah resmi menawarkan senapan serbu ringan teranyar berkode Tokar-2.
Senapan yang rencananya dipakai oleh pasukan khusus Rusia (Spetsnaz) pada akhir 2016 ini menelan biaya pembuatan sekitar US$386 ribu (setara Rp5,1 miliar).
Senapan mesin kaliber 5,45 mm baru, yang diberi nama Kord-5,45, dirancang khusus sebagai senjata ringan dan kompak untuk pasukan khusus dalam pertempuran jarak dekat, seperti saat menyerbu bangunan musuh atau pun dalam perang kota.
Panjang senapan mesin, dengan popor lipat dan tanpa flash suppressor (peredam cahaya) tidak lebih panjang dari 90 mm untuk laras panjang dan 750 mm untuk laras pendek, dengan berat tidak lebih dari tujuh kilogram.
Daya sembur amunisi adalah sekitar 800-900 tembakan per menit, dengan sabuk amunisi yang berisi 60 amunisi, dan juga bisa menggunakan magasin amunisi senapan serbu AK-74 dan senapan mesin ringan RPK-74.
“Mata” Rusia di Laut Hitam
Selain itu, dalam waktu bersamaan, Kementerian Pertahanan Rusia sedang memodernisasi stasiun radar peringatan dini (early warning system), Dnepr, yang terletak dekat Sevastopol, Crimea untuk mendeteksi kemungkinan peluncuran rudal dari Laut Hitam dan Mediterania.
Namun, tidak diungkapkan biaya modernisasi dan mulai tugasnya stasiun radar andalan Uni Soviet di masa lalu ini. Dengan "pulihnya" Dnepr maka mampu melacak senjata hipersonik, kapal perusak serta rudal balistik musuh yang diluncurkan dari Laut Mediterania dan Laut Hitam pada rentang hingga 3.000 kilometer.
Dnepr juga beroperasi pada pita frekuensi super tinggi yang diharapkan dapat mendongkrak efektivitas stasiun radar Rusia di kota Armavir, Armenia, yang beroperasi di pita frekuensi ultra tinggi.
"Sebagai contoh, rudal jelajah Tomahawk milik AS harus menempuh jarak dua jam untuk mencapai Moskow. Nah, Dnepr akan mendeteksi rudal tersebut sebelum 'menyentuh' ibu kota Rusia," kata Vadim Kozyulin, pengamat militer Rusia.
Stasiun Dnepr dibangun pada 1968 yang bertugas memantau wilayah Laut Hitam, Eropa Selatan dan Tengah, serta sebagian Timur Tengah. Usai Uni Soviet runtuh, Dnepr otomatis "berpindah tangan" ke Ukraina, namun Rusia masih bisa mempergunakannya dengan sistem sewa.
Akan tetapi, pada 2009, Rusia membatalkan kesepakatan karena mereka sudah memiliki penggantinya dengan membangun stasiun radar Voronezh di Armavir, Armenia. Setelah Crimea direbut pada 2014, otomatis Dnepr menjadi milik Rusia hingga kini.