Jutaan Anak di Asia Tenggara Alami Obesitas dan Kurang Gizi

Anak-anak Indonesia/Ilustrasi.
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Sekitar 17 juta anak-anak di Asia Tenggara menghadapi krisis simultan gizi lebih dan kurang. Sebagian anak mengalami obesitas sedangkan sebagian lainnya mengalami hambatan pertumbuhan (stunting) dan kekurangan berat badan.

‘Beban ganda’ malnutrisi ini terjadi di negara-negara berpenghasilan menengah seperti Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand. Hampir tiga perempat, atau 12 juta, dari 17 juta anak dengan pertumbuhan terhambat di ASEAN tinggal di Indonesia dan Filipina. Laos memiliki proporsi tertinggi anak-anak stunting di ASEAN yaitu 44 persen

Kasus tersebut dilaporkan berdasarkan hasil penelitian bersama yang dilakukan oleh UNICEF, WHO, dan ASEAN. Melalui rilis yang diterima oleh VIVA.co.id, pada Kamis, 31 Maret 2016, laporan tersebut mengatakan, penyebab kelebihan berat badan dan kekurangan berat badan saling terkait.

Seorang anak yang mengalami hambatan pertumbuhan pada usia dini berisiko lebih besar untuk mengalami kelebihan berat badan kemudian hari. Risiko kelebihan berat badan naik dengan peningkatan akses ke ‘junk food’ dan minuman (orang-orang dengan kadar lemak trans atau gula tinggi dan nilai gizi yang rendah), aktivitas fisik dan gaya hidup tidak aktif atau kurang bergerak.

Menurut Direktur Regional Nutrition Advisor untuk UNICEF Asia Timur dan Pasifik Christiane Rudert, tren ini meningkat di banyak negara di kawasan ini, dan memberikan kontribusi signifikan terhadap meningkatnya prevalensi penyakit kronis seperti diabetes dan kondisi jantung.

"Banyak negara di Asia Tenggara telah melihat keuntungan ekonomi yang mengesankan dalam dekade terakhir, sehingga mengangkat jutaan anak-anak keluar dari kemiskinan," kata Christiane Rudert.

"Namun, pada saat yang sama kita telah melihat munculnya kondisi seperti obesitas, yang sebelumnya dikaitkan dengan negara-negara berpenghasilan tinggi. Kini anak-anak Asia berisiko mengalami malnutrisi dari kedua ujung spektrum," ujarnya menambahkan.

Hambatan pertumbuhan dan kekurangan berat badan, masih menjadi masalah di sebagian besar negara di kawasan ini, bahkan mereka yang telah meraih kemajuan ekonomi. Selain kemiskinan, faktor lain termasuk diet tradisional yang komponen makanannya kurang bergizi, pola pemberian makan bayi yang buruk, air bersih dan sanitasi tidak memadai serta pola pertanian dengan tanaman yang terbatas, adalah faktor-faktor yang memberi pengaruh pada hambatan pertumbuhanini.

Rudert menegaskan, jika anak-anak mengalami hambatan pertumbuhan, hal ini juga akan berpengaruh terhadap perkembangan mereka di srea lain termasuk kesehatan dan pendidikan. Situasi ini kelak akan mempengaruhi peluang mereka dalam kehidupan.

Laporan ini juga menemukan bahwa prevalensi hambatan pertumbuhan tertinggi ada di Kamboja, Laos dan Myanmar, serta beberapa wilayah Indonesia dan Filipina.