Tudingan Jokowi Pakai 'Makelar' ke AS Dinilai Tidak Akurat

Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dan Presiden ke-44 AS Barack Obama.
Sumber :
  • REUTERS/Jonathan Ernst

VIVA.co.id - Guru besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, angkat bicara mengenai isu adanya penggunaan broker dalam memuluskan kunjungan Presiden Jokowi ke AS beberapa waktu lalu.

Hikmahanto mencermati apa yang disampaikan oleh pengajar Ilmu Politik dan Studi Internasional Universitas London, Michael Buehler pada artikelnya yang berjudul 'Menunggu di Lobi Gedung Putih' yang didasarkan pada dokumen Services Agreement antara perusahaan konsultan asal Singapura, Pareira International Pte Ltd dan perusahaan humas yang berbasis di Las Vegas, R&R Partners.

Himahanto menilai informasi pada pada artikel tersebut banyak yang tidak tepat.

"Pertama, dalam dokumen itu tidak ada satu katapun yang merujuk pada Pemerintah Indonesia," tulis Hikmahanto dalam keterangan tertulis kepada VIVA.co.id, Minggu 8 November 2015.

Kedua, Hikmahanto menilai dokumen tersebut tidak menyebut bagaiamana hubungan antara Pareira International Pte Ltd dengan Pemerintah Indonesia namun Michael Buehler menyimpulkan bahwa dokumen ini seolah atas permintaan pemerintah Indonesia.

Padahal menurut Hikmahanto, bisa saja Pareira International Pte Ltd disewa oleh pebisnis Indonesia.

"Ketiga, rujukan terkait ruang lingkup kerja dari lobbyist (yang disebut dalam perjanjian sebagai konsultan) tidak merujuk pada pertemuan Presiden RI dengan Presiden AS," ujarnya.

Guru besar UI itu memaparkan dalam ruang lingkup perjanjian ada tiga hal yaitu pertama, mengatur pertemuan dengan para pejabat baik di legislatif maupun pemerintah. Kedua, menyampaikan isu-isu saat legislatif dan pemerintah (joint sessions) bertemu. Ketiga, mengidentifikasi dan bekerja dengan tokoh berpengaruh di AS.

Namun Hikmahanto heran, ruang lingkup pekerjaan ini dianggap seolah berkaitan dengan Kunjungan Jokowi ke AS.

Hikmahanto menduga, Buehler merangkai artikelnya antara Services Agreement dengan informasi yang didapat dari berbagai pihak dari Indonesia.

Konstruksi berpikir tersebut, menjadi landasan untuk membangun argumentasi bahwa Presiden Jokowi tidak memegang kendali terhadap pemerintahan.

Menurut Hikmahanto, apa yang disampaikan Buehler banyak spekulasi dan bertentangan dengan norma diplomasi antarnegara.

Norma diplomasi yang dimaksudkan Hikmahanto yaitu kunjungan antarkepala pemerintahan dan kepala negara tidak dikenal istilah 'broker' untuk mempertemukan keduanya.

"Semua diatur melalui chanel-chanel diplomatik dan pemerintahan," kata Hikmahanto.

Selanjutnya profesor UI itu juga mengkritisi argumentasi Buehler soal argumen ketidakharmonisan antara Menkopolhukam, Luhut B. Pandjaitan dan Menlu Retno Marsudi. Menurutnya, argumentasi itu tidak berdasar analisis ilmiah tapi hanya gosip politik saja, yang kemungkinan didapat Buehler dari media dan jaringannya di Indonesia.

"Prematur bila Michael mengaitkan Pareira seorang WN Singapura yang mempunyai koneksi dengan para pejabat di Indonesia bahwa Pareira disewa oleh Pemerintah Indonesia. Karena bila melihat Services Agreement tidak ada rujukan kata Pemerintah Indonesia," kata Hikmahanto.

Untuk itu, Hikmahanto menyarankan agar Kedubes Indonesia di Inggris meminta klarifikasi dari Buehler, bisa melalui universitas tempat mengabdi Buehler. (ren)