Diaspora Indonesia Berharap UU Dwi Kewarganegaraan Disahkan
Kamis, 13 Agustus 2015 - 07:51 WIB
Sumber :
- Reuters
VIVA.co.id - Salah satu anggota diaspora Indonesia yang tinggal di negara Amerika Serikat, Priscilla Sundah Suntoso berharap agar Pemerintah Indonesia segera mengubah dan memberlakukan UUD mengenai perizinan Warga Negara Indonesia dengan dua kewarganegaraan. Pasalnya, dengan status kepemilikan dua kewarganegaraan, dikatakan Priscilla akan membantu WNI yang sudah lama tinggal dan beraktivitas di negara asing.
Demikian ungkap Priscilla ketika ditemui di Bidakara Convention Centre di kawasan Jakarta Selatan pada Rabu malam, 12 Agustus 2015.
"UUD setiap negara pasti berevolusi mengikuti perubahan zaman dan keadaan yang ada pada negara tersebut. Saya harap dalam tempo yang sesingkat-singkatnya pemerintah melakukan perubahan UUD karena ada banyak hal yang bisa dimudahkan (dengan fasilitas itu)," ungkap Priscilla.
Wanita yang berprofesi sebagai pengacara itu berpendapat, tidak sedikit WNI yang mengambil kewarganegaraan lain bukan karena keinginan mereka sendiri, melainkan karena keadaan yang mengharuskan mereka mengambil kewarganegaraan itu.
"Kadang, orang ambil kewarganegaraan lain itu bukan karena mereka mau tapi karena mau tidak mau mereka harus ambil. Contohnya suami istri, salah satu harus ambil warga negara untuk 'mensponsori' yang lainnya," ujar Priscilla.
Ia melanjutkan, contoh lain yang mengharuskan seseorang mau tidak mau memiliki dwi kenegaraan adalah jika seorang WNI melahirkan anaknya di luar negeri. "Mau tidak mau (akhirnya) punya dua kewarganegaraan, itu kan bukan kemauan mereka," ujarnya.
Di samping itu, Priscilla juga menepis anggapan sulit bagi WNI memperoleh green card atau kartu hijau. Jika orang tersebut memiliki data yang jelas dan dengan tujuan yang baik, maka orang tersebut tidak mungkin dipersulit saat mengajukan kepemilikan green card.
"Tergantung tujuan kamu apa. Kalo mau berniat hidup atau kerja gelap ya kamu dapatkan apa yang kamu bikin. Banyak juga yg udah berkali-kali urus tapi memang ditolak, karena dilihat dulu ujungnya mau apa. Kalo Anda cuma mau sekolah buat apa punya kewarganegaraan disana ?," katanya.
Sementara, dalam suatu diskusi, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Yasonna Laoly mengatakan tak mudah untuk menggolkan UU Dwi Kewarganegaraan. Sebab, selain merupakan isu sensitif, ide itu juga menimbulkan resistensi yang dilatar belakangi oleh berbagai alasan.
Di antaranya alasan keamanan dan adanya kekhawatiran kewarganegaraan ganda bisa mendatankan potensi bahaya bagi Indonesia.
"Teman-teman dari Polri dan Badan Intelijen Nasional (BIN) memandangnya dari aspek keamanan," kata Yasonna.
Aspek lainnya yang mendasar yakni mengenai nasionalisme yang bercampur sentimen. WNI yang melepas kewarganegaraan demi memperoleh kewarganegaraan lain, dianggap pragmatis dan tak lagi nasionalis. Oleh sebab itu, dia menambahkan, penting untuk meyakinkan publik Indonesia, kewarganegaraan ganda akan memberikan manfaat bagi bangsa dan negara secara lebih besar.
Bukan semata-mata menguntungkan sebagian kecil WNI yang punya kesempatan tinggal di luar negeri.
"Bagi saudara kita di Indonesia, baru sebagian kecil yang pernah bepergian ke luar negeri jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Mereka melihat masa cuma diambil enaknya saja. Dalam pandangan mereka kok nggak ada nasionalismenya. Mengapa dilepaskan itu kewarganegaraannya?" tutur Yasonna.
Saat ini, mengupayakan isu dwi kewarganegaraan menjadi satu UU cukup sulit. Saat ini, isu tersebut sudah masuk ke Prolegnas, tetapi belum ada kepastian kapan RUU itu bisa dibahas oleh DPR.
Baca Juga :
Demikian ungkap Priscilla ketika ditemui di Bidakara Convention Centre di kawasan Jakarta Selatan pada Rabu malam, 12 Agustus 2015.
"UUD setiap negara pasti berevolusi mengikuti perubahan zaman dan keadaan yang ada pada negara tersebut. Saya harap dalam tempo yang sesingkat-singkatnya pemerintah melakukan perubahan UUD karena ada banyak hal yang bisa dimudahkan (dengan fasilitas itu)," ungkap Priscilla.
Wanita yang berprofesi sebagai pengacara itu berpendapat, tidak sedikit WNI yang mengambil kewarganegaraan lain bukan karena keinginan mereka sendiri, melainkan karena keadaan yang mengharuskan mereka mengambil kewarganegaraan itu.
"Kadang, orang ambil kewarganegaraan lain itu bukan karena mereka mau tapi karena mau tidak mau mereka harus ambil. Contohnya suami istri, salah satu harus ambil warga negara untuk 'mensponsori' yang lainnya," ujar Priscilla.
Ia melanjutkan, contoh lain yang mengharuskan seseorang mau tidak mau memiliki dwi kenegaraan adalah jika seorang WNI melahirkan anaknya di luar negeri. "Mau tidak mau (akhirnya) punya dua kewarganegaraan, itu kan bukan kemauan mereka," ujarnya.
Di samping itu, Priscilla juga menepis anggapan sulit bagi WNI memperoleh green card atau kartu hijau. Jika orang tersebut memiliki data yang jelas dan dengan tujuan yang baik, maka orang tersebut tidak mungkin dipersulit saat mengajukan kepemilikan green card.
"Tergantung tujuan kamu apa. Kalo mau berniat hidup atau kerja gelap ya kamu dapatkan apa yang kamu bikin. Banyak juga yg udah berkali-kali urus tapi memang ditolak, karena dilihat dulu ujungnya mau apa. Kalo Anda cuma mau sekolah buat apa punya kewarganegaraan disana ?," katanya.
Sementara, dalam suatu diskusi, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Yasonna Laoly mengatakan tak mudah untuk menggolkan UU Dwi Kewarganegaraan. Sebab, selain merupakan isu sensitif, ide itu juga menimbulkan resistensi yang dilatar belakangi oleh berbagai alasan.
Di antaranya alasan keamanan dan adanya kekhawatiran kewarganegaraan ganda bisa mendatankan potensi bahaya bagi Indonesia.
"Teman-teman dari Polri dan Badan Intelijen Nasional (BIN) memandangnya dari aspek keamanan," kata Yasonna.
Aspek lainnya yang mendasar yakni mengenai nasionalisme yang bercampur sentimen. WNI yang melepas kewarganegaraan demi memperoleh kewarganegaraan lain, dianggap pragmatis dan tak lagi nasionalis. Oleh sebab itu, dia menambahkan, penting untuk meyakinkan publik Indonesia, kewarganegaraan ganda akan memberikan manfaat bagi bangsa dan negara secara lebih besar.
Bukan semata-mata menguntungkan sebagian kecil WNI yang punya kesempatan tinggal di luar negeri.
"Bagi saudara kita di Indonesia, baru sebagian kecil yang pernah bepergian ke luar negeri jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Mereka melihat masa cuma diambil enaknya saja. Dalam pandangan mereka kok nggak ada nasionalismenya. Mengapa dilepaskan itu kewarganegaraannya?" tutur Yasonna.
Saat ini, mengupayakan isu dwi kewarganegaraan menjadi satu UU cukup sulit. Saat ini, isu tersebut sudah masuk ke Prolegnas, tetapi belum ada kepastian kapan RUU itu bisa dibahas oleh DPR.