Pengangguran dan Radikalisasi di Balik Penyerangan Tunisia
Senin, 29 Juni 2015 - 15:15 WIB
Sumber :
- REUTERS/Amine Ben Aziza
VIVA.co.id
- Sedikitnya 38 orang tewas di Sousse, Tunisia, pada Jumat lalu, 26 Juni 2015, dalam serangan yang dilakukan seorang pria bersenjata Kalashnikov dan granat. Pria itu lolos dari pengawasan otoritas keamanan.
"Ada banyak pengangguran di sini dan kelompok radikal Salafis, menggunakan kekuatan dana untuk menarik perhatian," kata Taher (69), seorang warga Hay Ettadhamen, dekat ibu kota Tunis.
Taher yang dikutip laman
Sydney Morning Herald
, Senin 29 Juni 2015, mengatakan para pemuka agama radikal menjanjikan pekerjaan, atau usaha dalam upaya merekrut para pengangguran.
"Mereka memberikan kios buah, atau sesuatu seperti itu, kemudian mencuci otak dengan ajaran radikal," ujar Taher, yang dua orang putrinya masih menganggur, empat tahun setelah memperoleh gelar sarjana.
Digulingkannya Presiden Zine El Abidine Ben Ali pada 2011, menjadi pemicu gerakan revolusi di berbagai negara Arab, termasuk Mesir, yang kemudian dikenal sebagai Arab Spring.
"Mayoritas keluarga di sini sama. Kami sabar, kami berharap masa depan yang cerah sejak revolusi, tetapi kami khawatir dengan masjid-masjid Salafis radikal, yang berusaha memengaruhi anak-anak kami," ucap Taher.
Ettadhamen hanya satu dari banyak wilayah miskin di Tunisia, di mana tempat ibadah ekstrimis dibiarkan berkembang pesat, dengan longgarnya pengawasan pemerintah, sejak Ben Ali digulingkan.
Pelaku serangan di Sousse, Seifeddine Rezgui, diyakini juga menjadi korban ajaran radikal pada salah satu masjid Salafis di kota Kairouan. Ada puluhan tempat ibadah tak berizin, yang kini beroperasi di luar kendali pemerintah.
Pemerintah Tunisia telah menyebut, setidaknya 80 masjid yang akan ditutup, karena menyebarkan ajaran radikal. ISIS telah menyatakan niatnya, memperluas pengaruh ke Tunisia.
Baca Juga :
Cherif mengingatkan, kondisi itu akan mendorong respon negatif dari pemerintah, memberlakukan kebijakan yang memberikan kewenangan terlalu besar bagi otoritas keamanan dan militer.
Seorang guru berusia 50 tahun, Abderraouf Saadouni, mengatakan tindakan keras dari pemerintah, dapat menyebabkan hasil tidak diharapkan, yang hanya akan menambah kerapuhan. (asp)