Jatuhnya Ramadi, Realitas yang Membangunkan Irak

Pasukan Irak dan milisi Syiah di Udhaim, utara Baghdad, 1 Maret 2015
Sumber :
  • REUTERS/Thaier Al-Sudani

VIVA.co.id - Saat Ramadi dikuasai oleh kelompok militan sembilan tahun lalu, Irak jatuh dalam kekacauan. Kini orang Irak kembali dihadapkan dengan kenyataan, jatuhnya kota itu untuk kedua kalinya, dengan dampak yang akan jauh lebih buruk.

Dikutip dari laman Guardian, Selasa, 19 Mei 2015, sekitar 400 militan ISIS berhasil merebut Ramadi pada akhir pekan lalu, membuat lebih dari 1.000 pasukan pemerintah Irak melarikan diri, meninggalkan kota itu dan puluhan ribu penduduknya.

Itu menjadi kekalahan terbesar Irak sejak jatuhnya Mosul pada Juni 2014, dengan peristiwa yang hampir serupa, ribuan pasukan Irak menyerah dari militan ISIS yang jumlahnya jauh lebih sedikit.

Kekalahan yang konyol itu, membuat Baghdad memutuskan untuk kembali memobilisasi milisi syiah, demi merebut kembali Ramadi walau dengan kemungkinan, adanya penolakan dari warga sunni Ramadi.

"Pihak yang harus disalahkan untuk ini adalah pemerintah dan otoritas lokal Ramadi," kata Saleh Eraqi, polisi berpangkat kolonel yang ikut melarikan diri, setelah saudara lelakinya tewas dalam pertempuran dengan ISIS.

Dia mengatakan militer Irak tidak memiliki semangat untuk bertempur, selain hanya menunggu ISIS menyerang. Berharap Amerika Serikat (AS) akan datang dengan bantuan untuk menyerang ISIS.

Eraqi mengatakan milisi syiah akan menghadapi tantangan, untuk merebut kembali Ramadi, karena banyak militan ISIS kini berdatangan dari berbagai tempat di provinsi Anbar, untuk memperkuat pertahanan.

Tantangan lebih besar adalah dari sikap warga Ramadi, ibukota dari provinsi Anbar yang dikenal sebagai provinsi sunni. Mereka sebelumnya telah menolak bantuan dari pejuang-pejuang syiah, untuk melawan ISIS.

"Kami tidak menerima Hashd al-Shaabi (milisi syiah) di kota kami. Kami secara emosional menentang mereka," kata seorang pemimpin suku suni di Ramadi, Syeikh Mohammed Saleh al-Bahari.

Namun brutalnya ISIS telah menjadi realitas, yang mulai membangunkan mereka. "Kami lelah. Kami ingin damai, kami ingin hidup, kami ingin aman dan bisa berjalan dengan bebas di jalan-jalan kami," kata Saleh.

Analis politik Irak, Ihsan Shimari, mengatakan jatuhnya Ramadi adalah panggilan untuk bangun bagi warga Irak. "Orang Irak mudah disesatkan oleh emosi. Tapi kini mereka dilanda realitas yang keras," katanya.

"Kini mereka bisa melihat, perang melawan ISIS akan sangat panjang dan sulit. Butuh waktu bagi mereka, untuk memahami realitas yang brutal," ucap Ihsan. Melawan ISIS butuh kerjasama, menyingkirkan sentimen sektarian.

Milisi syiah memang tidak berjumlah lebih banyak dari pasukan Irak, namun disiplin dan tingginya moral mereka, terbukti membuat mereka menjadi kunci bagi usaha Irak mencapai beberapa kemenangan melawan ISIS dalam beberapa bulan terakhir.

Naim al-Ubaidi, pemimpin Asaib ahl al-Haq, salah satu milisi syiah yang terlibat di bawah Hashd al-Shaabi, mengatakan pemerintah Irak akhirnya meminta mereka untuk menyelamatkan Ramadi.

Dia mengatakan dapat memahami sikap Baghdad sebelumnya, yang mendapat tekanan dari AS untuk tidak melibatkan milisi syiah dalam perang melawan ISIS. Namun menyelamatkan Irak disebutnya jauh lebih penting.

"Ramadi jatuh dan AS tidak berbuat apa pun. Ini tidak seperti yang terjadi di Irbil, ketika AS melakukan intervensi untuk mencegah Irbil jatuh, dengan cara apa pun," katanya. Irbil penting bagi AS, karena keberadaan pasukan mereka di kota itu.

Berkaca dari Ramadi dan Irbil, Naim menyebut orang Irak harus menyadari, bahwa hanya orang Irak yang bisa mengatasi persoalan mereka dengan bersatu, bukan mengandalkan AS.

Syeikh Saddon al-Eifan, pemimpin suku sunni di kota Amriyat al-Fallujah, mengatakan warganya di Anbar butuh bantuan apa pun untuk menghadapi ISIS. "Kami serangan dihadapkan pada dua pilihan buruk, ISIS atau Hashd," ucapnya.

Dia mengakui butuh upaya keras, untuk bisa menyatukan semua elemen rakyat Irak, jika ingin mengalahkan ISIS. Termasuk persatuan antara suku-suku sunni dengan syiah. Konflik selama ini, mempermudah ISIS bergerak dengan mudah di Irak.