Warisan Lee Kuan Yew Bagi Dunia: Pragmatisme Otoriter
Rabu, 25 Maret 2015 - 10:02 WIB
Sumber :
- Financial Times
VIVA.co.id - Pujian dari para pemimpin dan tokoh dunia tak henti mengalir, setelah wafatnya Lee Kuan Yew, perdana menteri pertama sekaligus pendiri Singapura modern, Senin, 23 Maret 2015.
The Guardian dalam laporannya, menulis sebagian orang meninggalnya Lee menandai kepergian tirani yang kejam. Sementara lainnya menyebut, itulah hadiah dari sang pemimpin tak mengenal lelah.
Lee Kuan Yew mewariskan pragmatisme otoriter, demikian ditulis media Inggris itu. Sementara laman Politico, membuat artikel dengan judul "Kutukan Lee Kuan Yew."
Baca Juga :
The Guardian dalam laporannya, menulis sebagian orang meninggalnya Lee menandai kepergian tirani yang kejam. Sementara lainnya menyebut, itulah hadiah dari sang pemimpin tak mengenal lelah.
Lee Kuan Yew mewariskan pragmatisme otoriter, demikian ditulis media Inggris itu. Sementara laman Politico, membuat artikel dengan judul "Kutukan Lee Kuan Yew."
Pujian para pemimpin dunia, seperti yang diucapkan Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama, tentang Lee merupakan raksasa sejarah yang sebenarnya, dinilai sedang melegitimasi tirani.
PM Inggris David Cameron menyebut Lee Kuan Yew, salah satu kisah kesuksesan besar dunia modern. Mantan presiden George W Bush bahkan memuji Lee atas kepemimpinan tunggalnya.
Ben Judah dalam artikelnya di Politico menyebut, semua pujian yang datang seakan mengubur kenyataan tentang pemerintahan tangan besi Lee, terutama saat dia menjadi PM selama tiga dekade (1959-1990).
Namun tidak ada yang dapat membantah, bahwa Lee sukses mewujudkan kemakmuran bagi Singapura, melalui gaya kepemimpinannya yang pragmatis dan jelas otoriter.
Beberapa negara tetangganya seperti Malaysia dan Indonesia, tampil lebih dulu ke pentas dunia pada 1960-an, seiring eksplorasi minyak besar-besaran setelah berakhirnya masa kolonialisme.
Namun dua negara itu saat ini tertinggal jauh. Singapura negara kecil tanpa kekayaan alam, yang dapat digadaikan untuk membiayai pembangunan, sukses menjadi negara makmur.
Kini banyak negara berusaha mempelajari rahasia kesuksesan mereka. Myanmar yang dalam transisi menuju demokrasi, setelah puluhan tahun kekuasaan junta militer, kini mengirimkan banyak pejabat mudanya ke Singapura.
Mereka ingin mempelajari bagaimana cara Singapura menjalankan "demokrasi terkendali." Kesuksesan Singapura seakan menjadi legitimasi, untuk mengatakan bahwa demokrasi bukan segalanya.
Namun hanya melihat gaya otoriter Lee memang berbahaya, apalagi jika pencapaian Singapura digunakan sebagai dalih, melanggengkan kekuasaan dengan memberangus kebebasan publik.
Untuk menghakimi pragmatisme otoriter Lee, perlu untuk melihat lebih jauh bagaimana dia melakukan transformasi atas semua aspek, yang disertai dengan kejujuran dan integritas.
"Apa yang sungguh membedakan pria yang rumit ini dari para pemimpin Asia lainnya, adalah apa yang tidak dia lakukan. Dia tidak korupsi," tulis Terry McCarthy, koresponden majalah Time untuk Asia Timur.
![vivamore="
Baca Juga
:"]
[/vivamore]