Selamatkan WNI dari Hukuman Mati, RI Pakai Diplomasi Santun
Selasa, 10 Maret 2015 - 21:51 WIB
Sumber :
- REUTERS/Murdani Usman/Files
VIVA.co.id - Juru bicara Kementerian Luar Negeri RI, Arrmanatha Christiawan Nasir, menyoroti berbagai upaya pemerintah negara asing yang memiliki warga terpidana mati kasus narkoba di Indonesia. Menurut diplomat yang akrab disapa Tata itu, pemerintah mereka baru sibuk mengupayakan jalur hukum di saat keputusan pengadilan telah mengikat dan menanti pelaksanaan eksekusi mati.
Hal itu disampaikan Tata ketika menjadi pembicara dalam sebuah diskusi di Universitas Trisakti, Selasa, 10 Maret 2015. Dia kian mempertanyakan langkah beberapa pemerintah, seperti Australia yang justru terus menekan Indonesia.
"Sekarang, Australia atau negara-negara yang warganya dijatuhi vonis hukuman mati mereka berbuat apa? Ketika WNI ditimpa kasus hukum, pemerintah memberikan pengacara dan penerjemah dari KBRI atau KJRI," papar Tata.
Saat persidangan pun, lanjut dia, WNI turut memperoleh pendampingan dari KJRI atau KBRI.
"Sementara, kalau Australia, memilih menggunakan penerjemah yang disediakan oleh pengadilan. Lalu, setelah selesai sidang, mereka protes karena adanya salah penerjemahan," ujar dia.
Indonesia pun, kata Tata, selalu mengedepankan politik diplomasi yang santun. Dia kemudian memberikan contoh, kasus yang menimpa lima warga asal Indonesia dan berasal dari Kalimantan Selatan. Kasus itu, dikenal publik di sana sebagai "5 Banjar".
Mereka menanam hidup-hidup warga keturunan Pakistan hingga tewas. Kelima WNI itu kemudian dijatuhkan hukuman mati.
"Pemerintah RI berjuang keras untuk membebaskan mereka dari hukuman mati. Caranya, KBRI atau KJRI berusaha memohon ampun dari Ibu korban," kata dia.
KBRI atau KJRI berusaha memohon ampun dari Ibu korban.
"Kami merayu Ibu korban tanpa uang. Kami perlakukan dia layaknya keluarga dan upaya itu tidak terputus hingga delapan tahun," tutur diplomat yang pernah bertugas di Jenewa, Swiss.
Hasilnya, tanpa diberi uang diyat, Ibu korban maju ke pengadilan dan memberikan ampun bagi lima WNI itu.
Bantah
Persepsi itu pernah dibantah oleh Pemerintah Prancis melalui Duta Besar Corinne Breuze. Dalam sebuah jumpa pers yang digelar akhir bulan lalu, dia menyebut pemerintahnya selalu hadir bagi warganya, Serge Atlaoui. Breuze mengatakan telah melakukan pendampingan konsuler sejak tahun 2005 lalu.
"Kami juga tetap berhubungan dengan keluarga dan pengacaranya sejak kasus ini bermula. Pejabat konsuler Prancis di Jakarta juga ikut berkunjung dan menelpon Atlaoui secara rutin," kata dia.
Baca Juga :
Hal itu disampaikan Tata ketika menjadi pembicara dalam sebuah diskusi di Universitas Trisakti, Selasa, 10 Maret 2015. Dia kian mempertanyakan langkah beberapa pemerintah, seperti Australia yang justru terus menekan Indonesia.
"Sekarang, Australia atau negara-negara yang warganya dijatuhi vonis hukuman mati mereka berbuat apa? Ketika WNI ditimpa kasus hukum, pemerintah memberikan pengacara dan penerjemah dari KBRI atau KJRI," papar Tata.
Saat persidangan pun, lanjut dia, WNI turut memperoleh pendampingan dari KJRI atau KBRI.
"Sementara, kalau Australia, memilih menggunakan penerjemah yang disediakan oleh pengadilan. Lalu, setelah selesai sidang, mereka protes karena adanya salah penerjemahan," ujar dia.
Indonesia pun, kata Tata, selalu mengedepankan politik diplomasi yang santun. Dia kemudian memberikan contoh, kasus yang menimpa lima warga asal Indonesia dan berasal dari Kalimantan Selatan. Kasus itu, dikenal publik di sana sebagai "5 Banjar".
Mereka menanam hidup-hidup warga keturunan Pakistan hingga tewas. Kelima WNI itu kemudian dijatuhkan hukuman mati.
"Pemerintah RI berjuang keras untuk membebaskan mereka dari hukuman mati. Caranya, KBRI atau KJRI berusaha memohon ampun dari Ibu korban," kata dia.
KBRI atau KJRI berusaha memohon ampun dari Ibu korban.
"Kami merayu Ibu korban tanpa uang. Kami perlakukan dia layaknya keluarga dan upaya itu tidak terputus hingga delapan tahun," tutur diplomat yang pernah bertugas di Jenewa, Swiss.
Hasilnya, tanpa diberi uang diyat, Ibu korban maju ke pengadilan dan memberikan ampun bagi lima WNI itu.
Bantah
Persepsi itu pernah dibantah oleh Pemerintah Prancis melalui Duta Besar Corinne Breuze. Dalam sebuah jumpa pers yang digelar akhir bulan lalu, dia menyebut pemerintahnya selalu hadir bagi warganya, Serge Atlaoui. Breuze mengatakan telah melakukan pendampingan konsuler sejak tahun 2005 lalu.
"Kami juga tetap berhubungan dengan keluarga dan pengacaranya sejak kasus ini bermula. Pejabat konsuler Prancis di Jakarta juga ikut berkunjung dan menelpon Atlaoui secara rutin," kata dia.
![vivamore="Baca Juga :"]
[/vivamore]