WHO Dikritik Karena Lepas Tangan Ebola

Empat penderita Ebola yang telah dinyatakan sembuh di Liberia, 3 Oktober.
Sumber :
  • REUTERS/James Giahyue

VIVAnews - Pada hari-hari pertama merebaknya wabah Ebola di Afrika Barat, saat para pekerja kemanusiaan berjuang untuk mengatasi penyebaran virus mematikan itu, Mariano Lugli bertanya, dimanakah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)?

Lugli, suster asal Italia, adalah salah satu pekerja kemanusiaan pertama yang tiba di Guinea bersama dengan Dokter Tanpa Tapal Batas (MSF), organisasi amal kesehatan terdiri dari para tenaga medis yang bekerja sebagai sukarelawan di seluruh dunia.

Saat tiba di Guinea, Maret lalu, Lugli langsung menuju kawasan hutan terpencil di mana Ebola mulai terdeteksi. Saat wabah menyebar ke ibukota Conakry, Lugli membangun klinik Ebola kedua di sana.

Dia melihat para tenaga medis asing dikirim oleh badan kesehatan PBB, namun tidak ada satu pun pejabat WHO yang tampak. "Pada semua rapat yang Saya hadiri, bahkan di Conakry, Saya tidak pernah melihat wakil WHO," kata Lugli yang menjabat wakil direktur operasi MSF Swiss.

"Peran koordinasi yang semestinya dijalankan WHO, kami tidak melihatnya. Saya tidak melihatnya pada tiga pekan pertama dan tetap tidak melihatnya sejak itu," tukas Lugli.

Ebola tidak tercatat sebagai virus mematikan yang baru ditemukan. Sudah 1.500 orang tercatat meninggal karena Ebola dalam 40 tahun terakhir. Namun hal itu menegaskan buruknya penyebaran Ebola saat ini, dengan lebih dari 3.400 orang telah meninggal hanya sepanjang 2014.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular (CDC) Amerika Serikat (AS), memperingatkan bahwa kasus infeksi Ebola bisa meningkat menjadi 1,4 juta orang pada awal 2015. Kini banyak profesional dan politisi mempertanyakan mengapa krisis Ebola dapat menjadi tidak terkendali.

Pekerja kemanusiaan dan pejabat PBB lainnya mempertanyakan lepas tangannya WHO dalam kasus Ebola, terutama di saat-saat awal di mana penanganan akan bisa jauh lebih muda. Namun sejauh ini, para pejabat WHO justru meremehkannya.

Presiden Internasional MSF Joanne Liu, memperingatkan bahwa organisasi yang dipimpinnya tidak dapat menghadapi jumlah korban yang meningkat pesat. Dia menyebut WHO telah mengabaikan mandatnya untuk membantu negara-negara anggota dalam situasi kesehatan darurat.

Menanggapi kritik, sejumlah pejabat WHO mengatakan mereka kewalahan dengan serangkaian krisis kesehatan. Mereka menyalahkan buruknya sistem perawatan kesehatan dan rakyat yang tidak kooperatif di negara-negara Afrika sebagai penyebab buruknya wabah Ebola.

Dirjen WHO Margaret Chan, mengatakan peran WHO bukan untuk mengoperasikan klinik Ebola atau kampanye kesehatan, tapi membantu saran pada negara-negara tentang bagaimana melakukannya (membangun klinik dan kampanye kesehatan).

Bahkan setelah para pemimpin Guinea, Liberia dan Sierra Leone, tiga negara dengan wabah Ebola terburuk di Afrika Barat, memohon peran PBB untuk penanganan Ebola, Sekjen PBB Ban Ki-moon terpaksa harus membuat misi khusus PBB untuk menjalankan peran koordinasi. WHO tetap lepas tangan.

"Saya harap krisis Ebola bisa menjadi titik balik bagi WHO, yang membutuhkan panggilan untuk bangun," kata Lawrence Gostin, profesor hukum kesehatan dari Universitas Georgetown.

Saat pertama kali Ebola terdeteksi di Guinea, yang segera diikuti dengan penyebaran cepat pada ratusan orang, WHO mengabaikan potensi ancaman dengan menyebut bahwa lebih baik untuk tidak memicu kepanikan.

Juru bicara GlaxoSmithKline mengatakan pihaknya telah menyampaikan pada WHO, Maret, bahwa mereka memiliki obat yang masih dalam tahap eksperimen. Tapi WHO menolak dan mengatakan fokus pada penyebaran.

MSF juga telah mengeluarkan peringatan pada 31 Maret, bahwa dari data geografis penyebaran menunjukkan kasus yang belum pernah terjadi sebelumnya. "Tapi WHO membantahnya, mengatakan itu tidak benar," kata Lugli.

WHO juga menolak menggunakan jaringannya di masyarakat. "WHO terus mengatakan itu bukan peran kami melakukannya. Kami hanya memberi nasihat pada kementerian kesehatan," kata Michel Poncin, Koordinator darurat MSF di Guinea.