Ustad Indonesia di AS: LGBT Muslim Masih Jadi Kontroversi

Pria gay
Sumber :
  • Boldsky

VIVAnews - Pengajar studi Islam di Universitas California di Riverside, Amerika Serikat, Muhammad Ali mengatakan jumlah warga Muslim di Negeri Paman Sam mencapai tiga hingga tujuh juta orang.

Sebagian di antara mereka masuk ke dalam kelompok Muslim Progresif yang nota bene merupakan kaum gay dan lesbian. Ditemui semalam di Pusat Kebudayaan Amerika Serikat di Pacific Place, Jakarta Selatan usai mengisi acara diskusi mengenai kehidupan Islam di sana, Ali membenarkan adanya kelompok tersebut.

Namun, dia mengatakan, menjadi gay atau lesbian di AS merupakan faktor budaya. "Di AS memungkinkan orang untuk menjadi apa saja. Hukumnya memberikan kemungkinan itu. Namun, bukan berarti kelompok ini tidak menghadapi kontroversi, karena belum semua negara bagian menyetujui UU pernikahan sesama jenis," kata Ali.

Bila berkaca di Indonesia, lanjut pria yang juga menjadi ustad itu, pengaruh agama cukup kuat, sehingga gay dan lesbian tidak berkembang. "Sementara di AS, budaya itu sudah ada cukup lama," ucap dia.

Ali berkisah, bahkan di AS ada seorang Imam Muslim yang secara terbuka mengakui gay. Dilansir dari stasiun berita Al-Jazeera pada Desember tahun lalu, Imam tersebut diketahui bernama Daayiee Abdullah.

Diyakini baru Abdullah lah satu-satunya Imam yang secara terbuka mengaku dirinya gay di AS. "Tapi dia masih baru dan menjadi kontroversi. Artinya, orang Muslim rata-rata masih belum bisa menerima kehadiran dia," ujar Ali.

Abdullah yang sebelumnya muallaf mempelajari agama hingga ke Mesir, Yordania dan Suriah. Dia mengaku tergerak menjadi Imam, karena melihat kelompok lesbian, gay, dan transgender Muslim belum berhasil memenuhi kebutuhan spritual mereka.

"Kadang kebutuhan menjadi sumber penemuan. Dan karena kebutuhan itu di komunitas kami, oleh sebab itu saya mengemban peran ini," kata Abdullah saat berbicara di program talkshow, America Tonight.

Dia kemudian mendirikan sebuah organisasi Masjid Cahaya Perubahan di Washington, D.C. Berbeda dengan masjid dan ritual yang digunakan kaum Muslim pada umumnya, di tempat yang didirikan Abdullah, jamaah pria dan wanita dapat berdiri berdampingan untuk shalat.

"Kami tidak membatasi berdasarkan gender atau oritentasi seksualnya atau aspek khusus apakah dia Muslim atau tidak. Yang terpenting, mereka di sini untuk berdoa," ujar Abdullah.

Bagi kaum jamaah gay dan lesbian, organisasi itu merupakan tempat untuk berlindung. Karena di negara asal sebagian besar imigran Muslim, menjadi gay dan lesbian dapat dikenakan hukuman, bahkan vonis mati.

Terkait banyaknya komentar negatif terhadap pilihannya itu, Abdullah tidak menyoal. Bahkan, dia memiliki pengalaman, seorang Imam tidak bersedia menyapa dan menjabat tangannya karena dia gay.

"Menjadi seseorang yang secara terbuka mengaku gay dan diidentifikasi demikian, membuat saya banyak mendapat masukan dan cercaan, tapi itu tidak apa-apa," ujar Abdullah bijak. (umi)