Ibu Kota Bangkok Berencana Dipindahkan, Thailand Ikuti Langkah Indonesia?
- huffpost.com
Bangkok – Seorang pejabat senior di kantor perubahan Iklim di Thailand, mengatakan bahwa mungkin pemerintah harus mempertimbangkan untuk merelokasi ibu kotanya, Bangkok, karena naiknya permukaan air laut.
Proyeksi secara konsisten menunjukkan bahwa dataran rendah Bangkok berisiko dibanjiri oleh lautan sebelum akhir abad ini.
Melansir dari The Sundaily, Jumat, 17 Mei 2024, sebagian besar ibu kota Thailand itu telah berjuang melawan banjir selama musim hujan.
Pavich Kesavawong, wakil direktur jenderal departemen perubahan iklim dan lingkungan pemerintah, memperingatkan bahwa kota tersebut mungkin tidak dapat beradaptasi dengan dunia karena pemanasan global yang sedang terjadi.
“Saya pikir suhu kita sudah melampaui 1,5 (derajat Celcius),” katanya, yang mengacu pada peningkatan suhu global dibandingkan tingkat pra-industri.
“Sekarang kami harus kembali dan memikirkan adaptasi. Saya membayangkan Bangkok sudah terendam air, jika kita tetap berada dalam situasi (saat ini)," tambahnya.
Pemerintah kota Bangkok sedang menjajaki langkah-langkah yang mencakup pembangunan tanggul, seperti yang digunakan di Belanda, katanya.
Namun, pihajnya telah berpikir untuk pindah, kata Pavich.
Dia juga mencatat bahwa diskusi tersebut masih bersifat hipotetis dan masalahnya sangat kompleks.
“Secara pribadi menurut saya itu pilihan yang bagus, sehingga kita bisa memisahkan ibu kota, wilayah pemerintahan, dan wilayah usaha,” ujarnya.
“Bangkok (akan) tetap menjadi ibu kota pemerintahan, tapi (bukan) menggerakkan bisnis.”
Meskipun langkah ini masih jauh untuk diadopsi sebagai kebijakan, hal ini bukanlah sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya di kawasan ini.
Indonesia juga sudah lebih dulu akan meresmikan ibu kota barunya, Nusantara, pada tahun ini, yang akan menggantikan Jakarta yang tenggelam dan tercemar sebagai pusat politik negara.
Langkah besar ini kontroversial dan sangat mahal, dengan perkiraan biaya sebesar US$ 32 miliar-US$ 35 miliar.
Thailand sendiri menderita dampak perubahan iklim di berbagai sektor, mulai dari petani yang berjuang melawan panas dan kekeringan hingga bisnis pariwisata yang terkena dampak pemutihan karang dan polusi.
Pemerintah juga telah menutup beberapa taman nasional sebagai respons terhadap pemutihan karang baru-baru ini dan Pavich mengatakan penutupan lebih lanjut masih mungkin dilakukan.
“Kita harus menyelamatkan alam, jadi kami pikir kami akan melakukan tindakan apa pun untuk melindungi sumber daya kami,” katanya.
Namun, Pavich mengakui bahwa upaya pemerintah untuk mengatasi masalah polusi udara yang semakin meningkat, khususnya di wilayah utara Thailand, belum membuahkan hasil.
Undang-undang yang berfokus pada udara bersih disahkan tahun ini dan Pavich mengatakan pejabat taman nasional telah meningkatkan upaya untuk mencegah dan memadamkan kebakaran di kawasan lindung.
“Sektor pertanian merupakan tantangan yang sangat besar bagi kami,” katanya, mengacu pada pembakaran pascapanen yang terus berlanjut yang merupakan penyebab utama kabut asap musiman.
Perbaikan juga tidak mungkin terjadi dalam beberapa tahun di Thailand.
Lebih cepat lagi, departemennya, yang merupakan bagian dari Kementerian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup sedang mendorong undang-undang perubahan iklim pertama di Thailand, yang telah diberlakukan setidaknya sejak 2019 tetapi ditangguhkan karena pandemi COVID-19.
Pavich mengatakan undang-undang tersebut, yang mencakup ketentuan mengenai segala hal mulai dari penetapan harga karbon hingga langkah-langkah mitigasi dan adaptasi, kemungkinan akan disahkan menjadi undang-undang tahun ini.
Thailand menargetkan netralitas karbon pada tahun 2050, dan net-zero pada tahun 2065.