Ribuan Dokter Mogok, PM Korea Selatan Beri Jaminan: Tak Ada Hukuman!
- South China Morning Post
Korea – Perdana Menteri Korea Selatan, Han Duck-soo mendesak para dokter peserta pelatihan yang telah mengundurkan diri secara massal untuk kembali bekerja pada hari ini, sembari menjamin tidak akan dimintai pertanggungjawaban atau hukuman.
Han menyampaikan pernyataan tersebut dalam pertemuan di Markas Besar Penanggulangan Bencana dan Keselamatan, Korsel. Han menegaskan bahwa tidak satu pun dari ribuan dokter yang mogok akan dimintai pertanggungjawaban atas aksi massal tersebut jika mereka kembali bekerja pada hari Kamis, 29 Februari 2024.
“Dokter yang meninggalkan pasiennya tidak dapat dipahami atau ditoleransi dengan alasan apa pun,” kata PM Han dikutip dari laman Yonhap, Kamis 29 Februari 2024.
Ia menekankan bahwa pemogokan yang sudah masuk hari kesembilan tersebut akan menyebabkan ketidaknyamanan yang lebih besar bagi pasien dan keluarga pasien, dan membebani pekerja medis yang tetap berada di rumah sakit.
“Permintaan untuk kembali ini bukan untuk hukuman. Saya dengan sungguh-sungguh meminta agar mereka mendengarkan permohonan masyarakat dan pemerintah dan kembali melakukan tugas mereka menjaga kehidupan pasien sebelum terlambat,” tuturnya.
Dalam pertemuan tersebut, Han juga berdiskusi dengan para pejabat untuk mengalokasikan biaya darurat guna meminimalkan kekosongan layanan kesehatan yang disebabkan oleh pemogokan dengan mempekerjakan pekerja pengganti dan memberikan kompensasi kepada dokter yang tersisa untuk bekerja lembur.
Kemenkes Korea Selatan, mencatat lebih dari 10.000 dokter peserta pelatihan dari rumah sakit pendidikan besar di Seoul dan tempat lain telah mengajukan pengunduran diri dan hampir 9.000 di antaranya tidak masuk kerja.
Rumah sakit terus menghadapi gangguan, membatalkan atau menunda prosedur yang tidak penting, dan menolak pasien non-darurat untuk memprioritaskan kasus darurat yang parah.
Namun demikian, dokter junior yang berperan penting dalam membantu operasi dan layanan darurat, diperkirakan turut bergabung dalam protes tersebut dan lulusan dari fakultas kedokteran pun dilaporkan menolak untuk melakukan magang.
Dengan kejadian ini, pemerintah berpendapat negara tersebut perlu mencetak lebih banyak dokter untuk menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh masyarakat yang menua dengan cepat. Hal itu juga berkaca negara-negara maju lainnya yang menghadapi kekurangan dokter.
Namun, para dokter yang mogok berargumen bahwa jumlah dokter sudah cukup dan peningkatan kuota mahasiswa kedokteran akan menimbulkan biaya pengobatan yang tidak perlu.
Mereka mengklaim bahwa rencana tersebut gagal untuk mengatasi permasalahan, seperti beban yang berlebihan dan kurangnya insentif bagi dokter spesialis anak, dan layanan kesehatan penting lainnya.