Presiden Prancis Tandatangani UU Kontroversial soal Aturan Deportasi
- VIVA.co.id/Natania Longdong
Paris – Presiden Prancis Emmanuel Macron, selama kunjungannya ke New Delhi awal pekan ini, menandatangani undang-undang kontroversial mengenai imigrasi yang memperketat aturan naturalisasi dan deportasi. Hal itu diungkapkan oleh pemerintah Prancis dalam Jurnal Resminya pada Sabtu, 27 Januari 2024.
Pada hari Kamis, 25 Januari 2024, Dewan Konstitusi Prancis menolak lebih dari sepertiga naskah asli undang-undang tersebut yang dianggap melanggar konstitusi.
“Mengingat keputusan Dewan Konstitusi tanggal 25 Januari 2024, Presiden Republik mengumumkan undang-undang itu,” tulis jurnal tersebut, dikutip dari The Sundaily, Senin, 29 Januari 2024.
Macron menandatangani undang-undang itu saat berkunjung di New Delhi dari Kamis hingga Jumat.
Bagian dari undang-undang yang dibatalkan oleh pengawas konstitusi tersebut termasuk pasal yang memperketat aturan masuk dengan visa keluarga, kewajiban bagi pelajar non-Uni Eropa untuk meninggalkan negara tersebut, serta penerapan kuota migrasi.
Hal ini juga mencakup hukuman pidana bagi orang yang tinggal secara ilegal di Prancis, perbedaan akses terhadap jaminan sosial tergantung pada jenis pekerjaan profesional dan lama tinggal di negara tersebut, serta perubahan hak atas kewarganegaraan Prancis berdasarkan kelahiran di wilayah negara itu, serta tidak konsisten dengan undang-undang Prancis saat ini.
Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmanin, salah satu penulis utama reformasi migrasi, mengatakan setelah keputusan dewan tersebut bahwa Macron masih akan menandatangani undang-undang yang diringkas.
Pada hari Jumat, menteri mengumpulkan semua prefek dan memerintahkan mereka untuk mulai menegakkan undang-undang tersebut setelah ditandatangani.
Undang-undang tersebut, yang disetujui oleh kedua majelis parlemen Perancis pada 19 Desember setelah melalui banyak pertimbangan, menimbulkan protes besar-besaran baik di kalangan masyarakat maupun politisi Prancis.
Menteri Kesehatan saat itu Aurelien Rousseau mengundurkan diri pada 20 Desember, sementara beberapa wilayah Prancis yang diperintah oleh politisi sayap kiri mengatakan mereka tidak akan menerapkan ketentuan undang-undang baru tersebut.
Undang-undang tentang suaka dan migrasi mencakup banyak langkah untuk memperketat kontrol atas deportasi migran tidak berdokumen dan pencabutan izin tinggal bagi mereka yang melakukan kejahatan.
Pemerintah menggambarkannya sebagai undang-undang yang paling sulit mengenai imigrasi.