Singapura Hukum Mati Terdakwa Narkoba Ketiga Kalinya Dalam Seminggu
- vstory
Singapura – Singapura telah melaksanakan eksekusi mati ketiga untuk pelanggaran narkoba dalam waktu kurang lebih seminggu. Terbaru, negara itu menggantung warga negara berusia 39 tahun karena memperdagangkan 54 gram heroin.
Mohamed Shalleh Abdul Latiff, seorang etnis Melayu yang bekerja sebagai sopir pengiriman, digantung di Penjara Changi setelah menerima proses hukum, kata Biro Narkotika Pusat Singapura, melansir Al Jazeera, Jumat 4 Agustus 2023. Biro mengatakan jumlah heroin yang disita cukup untuk memasok lebih dari 600 penyalahguna narkoba selama seminggu.
Hukuman gantung Mohamed Shalleh terjadi hanya beberapa hari setelah pihak berwenang di negara itu mengeksekusi Saridewi Binte Djamani (45) dan Mohd Aziz bin Hussain (57), karena perdagangan narkoba, yang memicu protes dari PBB dan organisasi hak asasi manusia.
Singapura, yang dikenal dengan hukuman kejahatan yang keras, telah mengeksekusi 16 orang termasuk orang asing, karena pelanggaran narkotika sejak mengakhiri jeda dua tahun hukuman gantung selama pandemi COVID-19.
Selama persidangannya, Mohamed Shalleh berpendapat bahwa seorang teman yang dia berutang uang telah menipunya untuk percaya bahwa dia mengantarkan rokok selundupan. Seorang hakim Singapura menolak pembelaan Mohamed Shalleh setelah memutuskan bahwa hubungan mereka tidak cukup dekat untuk membenarkan tingkat kepercayaan tersebut.
Penerapan hukuman mati terbaru Singapura kemungkinan akan menambah tekanan internasional yang semakin besar terhadap Negara Asia Tenggara itu untuk mereformasi undang-undang narkoba.
Bulan lalu, Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia menyerukan moratorium penggunaan hukuman mati di Singapura, menyebutnya "tidak konsisten dengan hak dasar untuk hidup dan hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya".
Terlepas dari citra Singapura sebagai pusat keuangan internasional yang sangat efisien, perlakuan negara itu terhadap pelanggar narkoba menempatkannya bersama sejumlah kecil negara otoriter seperti China dan Korea Utara.
Undang-undang negara Asia Tenggara mengamanatkan hukuman mati bagi siapa saja yang memperdagangkan lebih dari 500 gram ganja dan 15 gram (0,5 ons) heroin.
Kelompok hak asasi seperti Amnesty International dan Human Rights Watch berpendapat bahwa undang-undang tidak banyak membantu menghentikan penyalahgunaan narkoba, dan secara tidak proporsional memengaruhi pelanggar tingkat rendah.
Pemerintah Singapura, yang dengan ketat membatasi media independen, protes publik, dan oposisi politik, membela penggunaan hukuman mati sebagai pencegah yang efektif terhadap kejahatan dan mengutip survei yang menunjukkan mayoritas kuat warga mendukung undang-undang tersebut.