Muslim Uighur Disiksa Pemerintah China, Negara Muslim di Dunia Didesak Turun Tangan
- Amnesty International
Beijing – Pemerintah Daerah Xinjiang, China telah melakukan tindakan kekerasan terhadap etnis minoritas Uighur selama 100 hari berturut-turut.
Tindakan yang mereka sebut kampanye serangan keras ini, dilakukan oleh Menteri Keamanan China, Wang Xiaohong, yang dikenal sebagai salah satu kaki tangan Presiden Xi Jinping.
Wang Xiaohing mengklaim bahwa tindakannya untuk memberantas kekuatan kriminal dan menopang keamanan politik, serta kontrol sosial di seluruh negeri.
Loyalis Xi itu juga telah mengarahkan polisi untuk menelusuri seluruh pelosok wilayah Xinjiang, guna mengantisipasi semua jenis risiko gangguan keamanan.
Laporan tentang dimulainya kampanye baru di Xinjiang muncul di aplikasi media sosial China, Douyin, pada 3 Juli 2023 lalu, yang memuat informasi bahwa hal tersebut sedang diterapkan di seluruh prefektur Hotan, yang berada di selatan Xinjiang, tempat bermukimnya mayoritas Muslim Uighur.
Menanggapi hal tersebut, Aliansi Mahasiswa Islam (AMI) mendesak negara-negara dunia khususnya Indonesia, untuk bergerak menyelamatkan jutaan Muslim Uighur dari program kampanye serangan keras Beijing.
Peneliti sekaligus koordinator aksi AMI, Andi Setya Negara menyebut serangan keras diduga kuat dijadikan alasan atau legalitas Beijing dalam melakukan setiap pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) terhadap Muslim Uighur.
“Program kampanye serangan keras hanya akal-akalan Beijing untuk ‘melegalkan’ setiap aksi kekerasan yang dilakukan aparat terhadap Muslim Uighur,” kata Andi Setya Negara kepada wartawan, Sabtu, 29 Juli 2023.
Apalagi, menurut laporan media China, biro keamanan publik setempat sedang melakukan operasi di wilayah masing-masing, dengan fokus pada kejahatan yang dianggap mengancam ketertiban umum.
“Dari media setempat, kami mendapatkan informasi bahwasanya aparat dapat mengambil tindakan terhadap aktivitas ilegal kapan saja sepanjang tahun dan tidak akan berhenti,” ujar Andi.
Kesewenangan ini, kata dia, jelas menunjukkan arogansi terhadap HAM, di mana Beijing dapat ‘menculik’ orang-orang Uighur yang mereka anggap berbahaya meski belum ada bukti terhadap hal tersebut.
Program kampanye serangan keras tersebut juga memuat aturan bagi siapa pun Muslim Uighur yang mengadakan pertemuan dengan lebih dari 30 orang, mengadakan pesta atau melakukan upacara keagamaan, harus melaporkan dan meminta izin terlebih dahulu ke otoritas China setempat.
Jika tidak, mereka dianggap melakukan kegiatan ilegal yang tentunya akan menerima konsekuensi dari pemerintah China.
“Dari pengakuan petugas seperti dilansir Radio Free Asia (RFA), agar tidak dinyatakan ilegal, setiap Muslim Uighur yang membaca Al-Quran hanya boleh dilakukan di bawah bimbingan seorang imam yang ditugaskan pemerintah, dan dilarang untuk mendiskusikan kitab suci mereka sendiri,” tutur Andi.
Pemerintah juga memberlakukan pembatasan pada pernikahan, proses pemakaman jasad Muslim Uighur, dan apabila tidak mematuhi pembatasan tersebut, otoritas setempat langsung melabelinya sebagai pertemuan ilegal.
“Wajar jika banyak negara dunia melihat program kampanye serangan keras ini sebagai cara untuk mengakselerasi genosida Muslim Uighur di Tiongkok,” pungkasnya.