Deretan Teror Bom di Sekolah yang Meresahkan di Dunia, Pelakunya Masih Misterius
- vstory
VIVA Dunia – Ratusan sekolah di Jepang melaporkan menerima ancaman teror bom. Hal itu membuat masyarakat panik. Mengutip laporan BBC, Kamis, 2 Februari 2023, ancaman bom itu dikirim melalui faks ke banyak sekolah menengah dan universitas awal pekan ini dari nomor yang terdaftar di Tokyo.
Menurut polisi, tidak ada bahan peledak yang ditemukan di gedung-gedung sekolah, dan sejauh ini tidak ada laporan penyerangan terhadap siswa dan staf.
Polisi Jepang kemudian memprotes sosok yang mengirimkan ancaman bom dan pembunuhan ke ratusan sekolah, yang menyebabkan penutupan yang tergesa-gesa. Ancaman bom jarang terjadi di Jepang, yang terkenal dengan tingkat kejahatannya yang rendah.
Gelombang pertama pesan ancaman dimulai pada Senin 24 Januari, menjangkau sekolah dan universitas di seluruh negeri. Di satu prefektur, Saitama, lebih dari 170 sekolah mendapat ancaman bom, kata pihak terbanyak.
Media lokal melaporkan bahwa satu pesan mengklaim ada lebih dari 330 bom telah dipasang, sementara yang lain berbunyi: "Saya menanam bom besar."
Meminta Tebusan hingga Ancaman Pembunuhan Siswa dan Guru
Beberapa laporan menyebutkan pesan tersebut meminta uang tebusan mulai dari 300.000 yen sekitar Rp 34,5 juta hingga 3 juta yen atau setara dengan Rp 345 juta.
Pada Selasa 24 Januari, pesan yang mengancam akan membunuh siswa dan guru dengan senjata rakitan dikirim dari nomor yang sama ke sekolah menengah di berbagai prefektur termasuk Osaka, serta Saitama dan Ibaraki di dekat Tokyo.
Ancaman tersebut membuat banyak sekolah di Jepang ditutup sebagai tindakan pencegahan, meskipun sebagian besar telah dibuka kembali setelah tutup satu hari pada Kamis 26 Januari. Perlu diketahui Mesin fax masih umum digunakan di Jepang.
Hacker dan Rangkaian Ancaman Bom di Sekolah Australia
Sebelumnya, serangkaian ancaman bom lewat telepon diterima di 30 sekolah seantero Australia dalam seminggu terakhir. Setelah dilakukan pemeriksaan, pihak keamanan memastikan hal itu dilakukan oleh hacker yang meretas ke server-server penyedia layanan telepon otomatis.
Aksi serupa juga terjadi secara bersamaan di institusi pendidikan dasar di Prancis, Italia, Belanda, Jepang dan Inggris.
Ancaman pertama kali terjadi pada 29 Januari dan tak terlalu diungkap oleh media di Australia karena polisi di New South Wales (NSW) meminta para reporter untuk tidak memberikan perhatian bagi penelepon yang mengancam akan melakukan penembakan massal serta meledakkan bom di sekolah.
Namun pihak sekolah merasakan, gangguan semakin serius sehingga membuat para pengajar, murid dan orang tua tidak nyaman dengan ancaman yang berlangsung hingga Februari tersebut.
Pada Selasa kemarin, 17 sekolah di Victoria, 9 di Queensland dan 5 di Canberra terpaksa mengevakuasi murid-muridnya.
Dan pada Rabu, 3 Februari 2016, 8 sekolah di Queensland mendapatkan ancaman yang sama. Pun sekolah di Victoria, dan NSW di bagian tengah. Kepala polisi Victoria, Graham Ashton mengatakan bahwa ancaman itu hoax semata namun tetap saja mereka harus tetap melakukan evakuasi dan tidak menanggapnya enteng.
"Mereka berharap kita lengah dan menggubris ancaman itu, dan bagaimana bahwa pada saat itu kami lengah dan ternyata bukan hoax?" kata Ashton seperti dilansir dari The Guardian.
Diduga Hoax
Dia juga tak percaya bahwa pelaku hoax saling terinspirasi satu sama lain, melainkan sebuah sistem cangggih yang bisa melakukan ancaman secara bersamaan.
Bagaimanapun, kelompok peretas 'Evacuation Squad' mengaku bertanggung jawab atas ancaman telepon ke sekolah di Eropa, AS, Jepang dan Afrika Selatan. Namun menurut Viktor Olyavich, perwakilan grup itu, mereka tidak bertanggung jawab terhadap ancaman di Australia.
Menteri pendidikan untuk wilayah Victoria, James Merlino, Australia Federal Police (AFP) dan polisi tengah melakukan penyelidikan secara global mencari pelaku.
"Ini bukan wilayah hukum yang mudah," ujarnya kepada ABC Radio. "Dunia hacker itu kompleks, sulit untuk mencari pelakunya," imbuhnya lagi.
Sejauh ini, ancaman-ancaman itu tidak berhubungan dengan terorisme. Profesor Sanjay Jha, direktur untuk keamanan siber di Universitas NSW mengatakan polisi sulit menemukan pelaku.
Ada banyak server di internet untuk para pelaku usaha untuk melakukan telepon otomatis, contohnya perbankan yang ingin memperingatkan nasabah jika ada transaksi misterius. Atau perusahaan telemarketing yang ingin menawarkan produknya.
"Apa yang terjadi dengan server itu adalah, kita bisa membuat akun dan saat pembuatannya, mereka tidak memerlukan identitas kita sebenarnya," kata Jha.
"Itu berarti semua orang bisa melakukannya dengan identitas palsu dan server berada di luar Australia sehingga sulit untuk melacaknya," pungkas Jha.