Mengenal Presiden Gotabaya Rajapaksa dan Penyebab Sri Lanka Bangkrut
- AP Photo/Eranga Jayawardena
VIVA – Krisis politik Sri Lanka memuncak akhir pekan ini. Di tengah kekacauan yang disebabkan oleh keruntuhan ekonomi negara itu dan gelombang aksi protes puluhan ribu pengunjuk rasa yang marah, Presiden Sri Lanka menyetujui untuk mengundurkan diri.
Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa, adalah yang terakhir dari enam anggota keluarga paling berpengaruh di negara itu, yang masih memegang kekuasaan. Pada Sabtu, 9 Juli 2022, kerumunan besar turun ke jalan di ibukota Kolombo, mereka masuk ke kediaman resmi Rajapaksa dan menduduki kantornya.
Melansir dari AP, Senin 11 Juli 2022, puncak dari protes massa selama berbulan-bulan pada hari Sabtu menyebabkan Presiden Sri Lanka untuk mundur. Rajapaksa yang keberadaannya tidak diketahui, mengatakan dia akan meninggalkan kantor resminya pada Rabu, 13 Juli 2022, menurut ketua parlemen.
Selama beberapa dekade, keluarga Rajapaksa pemilik tanah yang kuat telah mendominasi politik lokal di pedesaan selatan distrik negara itu, sebelum Mahinda Rajapaksa terpilih sebagai presiden pada tahun 2005.
Mahinda berhasil menarik sentimen nasionalis mayoritas Buddha-Sinhala di pulau itu. Dia memimpin Sri Lanka ke kemenangan-kemenangan atas pemberontak etnis Tamil pada tahun 2009, mengakhiri perang saudara yang brutal selama 26 tahun yang telah memecah belah negara tersebut.
Adik laki-lakinya Gotabaya, adalah pejabat dan ahli strategi militer yang kuat di Kementerian Pertahanan Sri Lanka.
Mahinda tetap menjabat hingga 2015, ketika ia kalah dari oposisi yang dipimpin oleh mantan ajudannya. Tetapi keluarga itu bangkit kembali pada 2019, ketika Gotabaya memenangkan pemilihan presiden dengan janji untuk memulihkan keamanan setelah bom bunuh diri teroris pada hari Minggu Paskah yang menewaskan 290 orang.
Dia bersumpah untuk mengembalikan nasionalisme yang kuat, yang telah membuat keluarganya populer di kalangan mayoritas Buddhis, dan untuk memimpin negara keluar dari kemerosotan ekonomi dengan pesan stabilitas dan pembangunan.
Sebaliknya, dia membuat serangkaian kesalahan fatal yang mengantarkan krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ketika pariwisata anjlok setelah pemboman dan pinjaman luar negeri pada proyek pembangunan kontroversial, yang perlu dilunasi, Mahinda tidak mematuhi penasihat ekonomi.
Dia malah mendorong pemotongan pajak terbesar dalam sejarah negara itu. Hal tersebut dimaksudkan untuk memacu pengeluaran, tetapi para kritikus memperingatkan itu akan memangkas keuangan pemerintah.
Penguncian pandemi dan larangan yang keliru terhadap pupuk kimia semakin melukai ekonomi yang rapuh di negara tersebut. Negara segera kehabisan uang dan tidak dapat membayar utangnya yang besar.
Kekurangan makanan, gas untuk memasak, bahan bakar, dan obat-obatan telah memicu kemarahan publik atas apa yang dianggap banyak orang sebagai salah urus, korupsi, dan nepotisme pemerintahan Rajapaksa.
Perpecahan keluarga dimulai pada bulan April 2022, ketika protes yang berkembang memaksa tiga kerabat Rajapaksa, termasuk Menteri Keuangan, untuk keluar dari jabatan Kabinet mereka dan satu lagi meninggalkan pekerjaan menterinya. Pada bulan Mei 2022.
Pendukung pemerintah menyerang pengunjuk rasa dalam gelombang kekerasan yang menewaskan sembilan orang. Kemarahan para pengunjuk rasa beralih ke Mahinda Rajapaksa, yang ditekan untuk mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri (PM) dan berlindung di pangkalan angkatan laut yang dijaga ketat.
Tapi Gotabaya menolak untuk pergi, dan masyarakat di jalan-jalan ibu kota meneriakan seperti "Gota Pulang!".