Baju Shein Asal China Naik Daun Pesat, Nasib Pekerja Memprihatinkan
- abc
'Fast fashion' tengah naik daun setelah dipopulerkan oleh Shein, sebuah perusahaan asal China.
Menurut pemberitaan Reuters perusahaan tersebut meraup pendapatan sebesar $20,5 miliar di tahun 2021.
Situs Shein menyebutkan perusahaan tersebut menerima 9.000 produk online baru dalam sehari.
Apa itu 'shein haul'?
Tren ini dipopulerkan generasi Z yang mengunggah video di TikTok dan diberi tanda pagar #sheinhaul.
Ada juga beberapa anak muda asal Indonesia yang melakukannya, termasuk di Instagram.
'Haul' adalah sebutan yang artinya memamerkan produk pakaian yang baru dibeli dan mengunggahnya di jejaring sosial.
"Saya menghabiskan $900 di [Shein], jadi kamu tidak harus melakukannya," ujar @jodi.opuda sambil mengosongkan sebuah kotak besar dengan tulisan Shein dalam sebuah video.
"Astaga, saya membeli barang senilai $2,000 dan barang tersebut ada di kotak Shein saya," kata @clubsilktree sambil menunjuk ke arah kardus besar yang sedang diturunkan dari van pengangkut.
"Apakah saya baru membeli $439.50 dari Shein?" demikian tulisan dari video milik @chlo3s_hauls yang menunjukkan bukti pembayarannya dari Shein.
Lizzie Cao yang berusia 20 tahun adalah seorang mahasiswi yang juga 'influencer' dengan pengikut lebih dari 168.000 di TikTok.
Produk Shein pertama kali muncul di akun TikTok-nya dua tahun yang lalu.
"Ketika TikTok sangat terkenal di tengah karantina dan lockdown, semua orang melakukan 'Shein haul'," ujar Lizzie.
"Saya jadi ikut tren tersebut dan mulai membeli produk Shein dalam jumlah besar. Saya sebenarnya tidak membutuhkannya, tapi harganya yang murah cukup menggoda."
"Akhirnya saya harus menyumbangkan pakaian saya ke Vinnies [toko barang bekas] atau dibuang," ujarnya.
"Kualitas barangnya tidak sebagus itu, kita hanya memperoleh kepuasan sementara atau terbawa sensasi barang keren dengan harga murah," ujarnya.
"Namun tren ini cepat berlalu dan kita tidak membutuhkannya lagi."
Menyisakan 20 juta sampah
Shein dan perusahaan fesyen sejenisnya sangat tergantung pada manufaktur di China.
Menurut Statista, pada dua bulan pertama di tahun 2022 saja China sudah memproduksi 6 miliar meter kain pakaian.
Dr Yi Li, pakar bisnis China, mengatakan Shein beroperasi seperti platform 'e-commerce' bagi pemasok produk fesyen dari China. Sehingga dengan model ini mereka bisa membebankan porsi dari biaya dan risiko ke pembuat pakaian independen.
"Shein bisa menekan biaya produksi dan mengalihkan sebagian biaya ini ke pemasok waralaba lain," ujar Dr Li.
"Itulah mengapa perusahaan tersebut bisa menjual 9.000 barang per hari dan kebanyakan lebih murah dari pasaran."
Pemasok atau perusahaan mitranya juga menanggung sebagian barang yang tidak diinginkan.
"Mungkin lebih dari 90 persen dari barang ini tidak populer sama sekali," katanya.
"Mereka hanya butuh beberapa produk untuk jadi populer, baru bisa mendapat keuntungan."
Kebanyakan pekerja dibayar di bawah standar
Februari lalu, Shein meluncurkan Laporan Dampak pada Keberlanjutan pertama kalinya, setelah mendapat keluhan soal transparansi.
Laporan tersebut mencatat 83 persen dari 700 pemasok barangnya memiliki setidaknya satu risiko besar, sementara 12 persen di antaranya melakukan pelanggaran berat, dan hampir sepertiganya tidak siap dipecat.
Tenaga kerja di bawah umur ditemukan di kurang dari satu persen dari 700 perusahaan mitra yang diperiksa. Lebih tepatnya satu dari enam perusahaan mitra.
China telah meratifikasi Konvensi Umur Minimal Organisasi Tenaga Kerja Internasional di tahun 1973 dan menetapkan jika umur minimal tenaga kerja adalah 16 tahun.
Swiss Watchdog dan Public Eye mengeluarkan laporan tahun lalu yang menggambarkan temuan pihak penyidik di China.
"Mereka bekerja 11 sampai 12 jam per hari," kata Timo Kollbrunner, peneliti dari Public Eye.
"Dan ini bukan lima hari per minggu, tapi tujuh hari per minggu," tambahnya.
"Mereka biasanya memiliki satu hari libur dalam sebulan."
Pihak penyidik lembaga tersebut telah berbicara dengan 10 tenaga kerja dari enam pabrik di Guangzhou, China.
"Tidak satupun dari para pekerja yang kami wawancara memiliki kontrak, tidak ada satupun yang kami wawancara telah menerima jaminan sosial," kata Timo.
Pihak penyidik juga menemukan pabrik tempat mereka kerja tidak memiliki jalur evakuasi penyelamatan dan lorong-lorongnya tertutup.
Juru bicara dari Shein mengatakan mereka telah menerapkan kode etik bagi perusahaan mitranya dan melakukan pemeriksaan ketat dibantu pihak ketiga.
"Kami juga bermitra dengan perusahaan audit, seperti Bureau Veritas, ITS, dan Openview untuk memeriksa perusahaan mitra kami," katanya.
Mereka mengatakan perusahaan tersebut telah berkomitmen akan melindungi lingkungan, mendukung komunitas, dan memberdayakan pengusaha.
"Pengecer online global memiliki peran penting dalam mendukung komunitas dari mana kita bisa bekerja dan hidup, serta tanggung jawab untuk melestarikan planet yang kita tempati bersama," ujarnya.
"Kita harus bertanggung jawab atas segala dampak dari bisnis yang berlangsung jangka panjang yang akhirnya menguntungkan bisnis dan masyarakat."
Apakah Gen Z mulai tinggalkan 'fast fashion'?
Kekhawatiran terhadap industri 'fast fashion' sepertinya semakin nampak.
Kini semakin banyak unggahan dengan tanda tagar #boycottshein di TikTok.
"Ketika saya membeli barang dari Shein, rasanya seperti momen yang terlalu baik untuk jadi kenyataan," kata Lizzie.
"Lalu kebenaran perlahan terkuak dan saya mulai paham implikasi dari membeli produk dari perusahaan fast fashion."
"Saya mulai menghindarinya dan rasanya kebanyakan influencer yang saya kenal juga menghindari perusahaan fast fashion."
Waktu akan menjawab kapan Shein dan perusahaan 'fast fashion' akan menangani masalah ini.
Namun hingga kini perusahaan tersebut masih merupakan aplikasi belanja nomor satu di Australia.