Jutaan Warga Memilih Tinggal di Ukraina Meski Serangan Berlanjut

Banyak lansia yang tidak bisa meninggalkan Ukraina dengan anak mereka ingin menetap dan menjaga mereka. (AP: Vadim Ghirda)
Sumber :
  • abc

Meskipun setidaknya dua juta orang diperkirakan sudah meninggalkan Ukraina sejak invasi Rusia, banyak warga yang memilih untuk tinggal di negara itu.

Salah satu di antaranya adalah Natasha Doronin, yang tidak tega meninggalkan orang-orang tersayangnya.

Beberapa waktu yang lalu, kota yang ditempati Natasha selama invasi Rusia, Dnipro, dikategorikan "aman" dari serangan.

Namun semuanya berubah hari Jumat lalu (10/03), saat Dnipro terbakar akibat tiga serangan udara yang hampir menghancurkan sekolah taman kanak-kanak dan gedung apartemen, serta menewaskan satu jiwa, menurut laporan layanan gawat darurat setempat.

Natasha yang berumur 46 tahun dan adalah warga Kyiv.

Ia mengatakan "hampir tidak mungkin" bisa menjemput ayahnya yang berusia 82 tahun, yang kini terjebak dalam gedung apartemen tiga lantai. Ia tidak bisa mengungsi karena sulit untuk bergerak.

"Situasi [di Kharkiv] sangatlah menyulitkan. Serangan bom terjadi hampir setiap detik," katanya.

"Ayah saya sudah kesulitan berjalan, jadi pastinya ia tidak bisa ke mana-mana."

Menurutnya, meski ayahnya sangat takut, ia tidak bisa melakukan apa-apa karena situasi Kharkiv yang masih sangat rawan.

Setiap kali Natasha menelepon ayahnya, Volodymyr, pikirannya dipenuhi rasa takut dan pikiran buruk tentang apa yang mungkin terjadi padanya.

"Setiap pagi, waktu saya meneleponnya, saya selalu punya pikiran buruk beberapa detik sebelum akhirnya hubungan telepon saya tersambung," katanya.

"Bagaimana, bila terjadi apa-apa? Bagaimana kalau rumahnya hancur atau meledak? Sulit sekali membayangkannya."

Ia mengatakan situasi di sana semakin memburuk dengan banyaknya toko yang tutup dan persediaan makanan yang semakin sedikit.

"Bahkan tetangga yang mau membantu tidak bisa memberikan apa-apa. Jadi mereka juga mulai kelaparan."

Rela meninggalkan Australia ke Ukraina

Natalia Savycheva, berkewarganegaraan Ukraina dan Australia yang terpisah dari keluarganya karena aturan perbatasan selama pandemi.

Ketika perbatasan Australia dibuka, ia mengambil risiko untuk terbang ke pusat kota Ukraina akhir Desember lalu, dengan pemahaman bahwa Rusia bisa menyerang kapan pun.

Ia mengatakan "bisa gila" kalau tidak bersama dengan keluarganya di Ukraina ketika perang berlangsung.

"Kami merasa lebih baik bersama dengan keluarga di masa-masa sulit karena saya tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya berada di Australia saat perang terjadi di Ukraina," ujar Natalia.

Natalia tinggal di sebuah kota dekat Dnipro, yang menurutnya cukup aman.

Ia mengatakan terus berhubungan dengan Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) Australia yang telah menyuruhnya untuk meninggalkan kota tersebut.

Namun, meninggalkan keluarganya adalah keputusan yang sulit.

"Kami senang mendengar mereka [DFAT] memikirkan kami dan ingin kami meninggalkan tempat ini, tapi pada akhirnya, kami tahu tinggal bersama keluarga lebih baik karena ada saudara lain juga."

'Saya tidak mungkin meninggalkannya sendirian di sini'

Mary Ushakova menetap di Ukraina untuk menjaga ibunya yang berusia 70 tahun, yang tidak dapat bepergian jauh karena kondisi kesehatan dan umurnya.

"Ibu saya sudah tua dan semakin tua seseorang, semakin sulit juga bagi mereka untuk beraktivitas di rumah ... saya tidak mungkin meninggalkannya sendirian di sini," ujarnya.

Ayah Mary adalah orang Rusia sementara ibunya orang Ukraina. Ia mengatakan krisis identitas terus terjadi di rumahnya di Mykolaiv, kota di selatan Ukraina dekat Laut Hitam yang sebagian besar warganya berbahasa Rusia.

Ia mengatakan sebelum perang terjadi, 90 persen warga kota berbicara bahasa Rusia "namun semakin banyak orang berbicara bahasa Ukraina".

Meski Rusia sudah mengepung banyak kota dan serangan udara terus terjadi, para warga masih dibekali harapan.

"Orang-orang lumayan optimistis. Maksud saya ... seoptimistis mungkin di situasi seperti ini," katanya.

"Semua orang yakin Ukraina akan menang ... kami bukan dan tidak akan pernah menjadi bagian dari Rusia bagaimana pun caranya."

'Banyak warga yang tinggal dan membantu'

Dmytrii Yemet yang berusia 20 tahun meninggalkan Kyiv untuk tinggal bersama kakek dan neneknya di Cherkasy, kota di pusat Ukraina, di mana ia menjadi sukarelawan.

"Saya dan kakek saya membuat banyak daging kaleng untuk pengungsi dan tentara," katanya.

"Saya juga membantu membuat jaring untuk membantu tentara bersembunyi, penghalang jalan, [dan] karung pasir."

Menurutnya, sebagian kecil orang meninggalkan Ukraina, namun sebagian besar tetap tinggal dan membantu para tentara [dengan] cara yang berbeda.

"Semua orang saling membantu, banyak yang menjadi sukarelawan, semua orang siap untuk membela kota kami," katanya.

"Saya ingin membantu membela negara kami, kebudayaan, juga sejarah kami."

"Rusia pernah melakukan genosida di Ukraina pada tahun 1930-an dan saya tidak mau ini terjadi lagi," katanya, merujuk pada peristiwa kelaparan yang dikenal dengan nama Holodomor, yang disebabkan kebijakan Josef Stalin.

"Kini Ukraina timur dan barat akhirnya bersatu, kami melupakan perselisihan yang terjadi dan bersama-sama menghadapi musuh."

Diproduksi oleh Natasya Salim dari laporan dalam bahasa Inggris