Dua Tahun Pandemi COVID: 3 Kesalahan dan 3 Hal yang Harus Diwaspadai

Berikut adalah tiga kesalahan saat awal pandemi, dan tiga hal yang perlu kita perhatikan saat mendekati fase endemik. (ABC News: Tim Swanston)
Sumber :
  • abc

Tepat dua tahun lalu, pada 11 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan COVID-19 sebagai pandemi global.

Ini terjadi dua bulan setelah laporan tentang virus misterius yang menginfeksi orang-orang di Wuhan, kota terpadat di China tengah. Laporan awal mengatakan virus itu tampaknya tidak mudah ditularkan oleh manusia.

Virus SARS-CoV-2 kemudian diketahui bisa ditularkan oleh manusia dan dengan cepat menyebar ke seluruh dunia. Sejauh ini, dilaporkan lebih dari 450 juta orang telah terinfeksi.

COVID-19, penyakit yang ditimbulkannya, hingga saat ini telah menyebabkan lebih dari enam juta kematian, menjadikannya salah satu pandemi paling mematikan dalam sejarah.

Pada hari-hari awal, kita hanya tahu sedikit tentang virus dan COVID.

Berikut adalah tiga kesalahan yang kita sadari seiring berjalannya pandemi, dan tiga hal yang perlu kita waspadai saat mendekati fase endemik, di mana virus terus beredar di populasi pada tingkat yang relatif stabil.

1. Banyak yang khawatir kita tidak akan mendapatkan vaksin

Pada awal 2020, kita tidak tahu apakah mungkin ditemukan vaksin untuk melawan SARS-CoV-2.

Sebelumnya, ada upaya untuk mengembangkan vaksin untuk sindrom pernapasan akut parah (SARS) dan sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS), dua virus corona serupa yang juga menyebabkan wabah abad ini. Beberapa dari vaksin ini memasuki uji klinis, tetapi tidak ada yang disetujui.

Sebelum COVID, vaksin yang tercepat dibuat adalah vaksin untuk gondok, yang memakan waktu empat tahun.

Namun, dalam waktu kurang dari 12 bulan, Pfizer/BioNTech berhasil menyelesaikan pembuatan vaksin. Sekarang, kita memiliki 12 vaksin yang disetujui untuk penggunaan di berbagai belahan dunia, 19 untuk penggunaan darurat, dan lebih dari 100 jenis vaksin lainnya masih dalam tahap uji klinis.

Baik Pfizer dan Moderna juga telah memulai uji klinis vaksin spesifik Omicron.

Ada juga beberapa kelompok penelitian di seluruh dunia yang mengembangkan vaksin yang bertujuan untuk bekerja melawan semua varian SARS-CoV-2.

2. Beberapa orang mengatakan masker tidak diperlukan

Pada hari-hari awal COVID-19, saat masih belum ada vaksin, kita harus mengandalkan tindakan pencegahan individu seperti kebersihan tangan, jarak sosial, dan wajah.

Meskipun aturan mencuci tangan dan menjaga jarak sosial melindungi dari infeksi diterima oleh masyarakat luas, tidak demikian dengan pemakaian masker yang jauh lebih kontroversial.

Sebelum April 2020, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) menyarankan agar masyarakat tidak menggunakan masker karena dua alasan.

Pertama, CDC khawatir tidak ada pasokan masker bedah dan N95 yang cukup, yang krusial untuk mereka yang berisiko tinggi.

Kedua, diperkirakan pada saat itu orang tanpa gejala dan pra-gejala tidak dapat menularkan virus (kita sekarang tahu bahwa mereka ternyata bisa).

Namun, pada 3 April 2020, CDC mengubah sarannya dan merekomendasikan masyarakat umum untuk memakai masker kain berlapis-lapis.

Aturan ini sekarang telah diperbarui untuk mengenakan masker yang pas yang dipakai secara konsisten.

Dengan munculnya Omicron, beberapa ahli mengatakan masker wajah kain sudah tidak disarankan lagi dan orang-orang setidaknya harus memakai masker bedah, atau bahkan masker respirator yang lebih baik seperti P2, KN95 atau N95.

3. Kita sangat mengkhawatirkan transmisi virus di permukaan benda

Pada hari-hari awal pandemi, permukaan yang terkontaminasi dianggap sebagai sarana utama penularan COVID.

Orang-orang memakai sarung tangan ketika pergi ke supermarket (beberapa masih melakukannya), dan mencuci paket makanan mereka begitu sampai di rumah.

Namun, kita sekarang tahu bahwa virus ini menyebar terutama melalui aerosol dan transmisi droplet.

Ketika seseorang batuk atau bersin, tetesan yang mengandung lendir, air liur, air dan partikel virus dapat mendarat di orang lain atau jatuh ke permukaan.

Tetesan yang lebih besar cenderung tidak melakukan perjalanan terlalu jauh dan jatuh dengan cepat.

Tetesan yang lebih kecil, yang disebut aerosol, dapat bertahan di udara untuk waktu yang lama sebelum mengendap.

Kini menurut para ilmuwan, penularan yang terjadi karena menyentuh permukaan yang terkontaminasi sangat jarang terjadi.

Tiga hal yang masih harus diwaspadai

Ada tiga isu utama yang perlu kita waspadai saat COVID perlahan mewabah.

1. Varian baru

Masih ada potensi varian baru dan lebih berat di depan. Salah satu alasan utamanya adalah tingkat vaksinasi yang rendah di banyak negara. Semakin banyak virus yang memperbanyak diri pada populasi yang tidak divaksinasi, semakin besar kemungkinan terjadinya mutasi dan varian.

Produsen vaksin Pfizer dan Moderna memproduksi vaksin di fasilitas mereka sendiri, atau melisensikan hak untuk memproduksi vaksin di negara lain.

Ini menempatkannya di luar jangkauan finansial bagi sebagian besar negara berkembang, yang kemudian harus bergantung pada inisiatif COVAX untuk pasokan. COVAX adalah fasilitas yang didanai oleh negara maju dan organisasi donor untuk membeli vaksin untuk didistribusikan ke negara berkembang.

Para peneliti di Pusat Pengembangan Vaksin Rumah Sakit Anak Texas telah meluncurkan vaksin berbasis protein yang disebut Corbevax.

Kemanjuran vaksin ini 80 persen lebih terhadap gejala COVID, meskipun ini bertentangan dengan varian Delta yang tidak lagi dominan. Percobaan sedang berlangsung untuk melihat kemanjurannya melawan Omicron.

Jika disetujui, ini akan sangat membantu meningkatkan tingkat vaksinasi di banyak negara berkembang.

2. Menurunnya kekebalan

Banyak lansia dan kelompok rentan mendapatkan dosis ketiga pada November atau Desember tahun lalu, sementara kekebalan mereka sekarang menurun dengan cepat.

Kita perlu memberikan dosis vaksin keempat sesegera mungkin kepada lansia dan kelompok rentan.

3. Long COVID 

Politisi mengabaikan long COVID.

Dengan ribuan kasus COVID dilaporkan setiap harinya, tahun depan kita akan mendapatkan gelombang besar orang-orang yang menderita masalah kesehatan jangka panjang.

Jadi, kita tidak bisa mengabaikan angka kasus yang tinggi dan sebaiknya lebih bijak untuk mempertahankan setidaknya beberapa tindakan kesehatan masyarakat (misalnya, mandat memakai masker) untuk menurunkan jumlah kasus.

Awal dari sebuah akhir

Pemerintah negara bagian dan teritori di Australia sekarang tidak lagi menerapkan langkah-langkah kesehatan masyarakat seperti penggunaan kode QR, langkah-langkah jarak sosial dan mandat pemakaian masker.

Pemikiran mereka adalah bahwa meski pun jumlah kasus masih cukup tinggi, angka rawat inap turun - dan tentu saja, pemilihan umum sudah di depan mata. Kepala petugas kesehatan masyarakat, yang biasa memberikan pengarahan harian, kini jarang terlihat.

"Kembalikan kebebasan kami" sekarang menjadi seruan yang umum terdengar, bahkan jika berarti ini mengorbankan lansia dan orang-orang yang rentan.

Singkatnya, banyak yang percaya bahwa kita telah berpindah dari status epidemi ke status endemi.

Meskipun kita semua berharap semua ini berakhir dan kehidupan kembali normal, kita belum sampai di sana.

Tapi saya pikir dengan vaksin yang lebih baik dan perawatan yang lebih baik, setidaknya ini adalah awal dari akhir.

Adrian Esterman adalah Profesor Biostatistik dan Epidemiologi di University of South Australia. Tulisan ini pertama kali muncul di The Conversation.